Bandung (ANTARA News) - Di mata seniman asal Bandung, Herry Dim, sosok penyair Willibrordus Surendra Broto Rendra atau yang lebih dikenal dengan WS Rendra merupakan sosok romantis, mudah terharu dan bahkan mudah menangis.
"Di balik kegarangannya dalam menulis berbagai puisi yang berisi kritikan-kritikan sesungguhnya Mas Willi adalah sosok yang sangat halus dan mampu menitikkan air mata saat melihat atau sesuatu yang mengiris hatinya," ujar Herry kepada ANTARA di Bandung, Jumat.
Herry menuturkan pernah melihat Rendra menangis saat pergantian tahun di Candi Keta, Surakarta. "Saat itu istri saya menari di atas tebing pintu gerbang candi hanya diterangi sinar bulan," katanya.
"Saat itulah Rendra menangis dan memeluk saya tanpa berkata apa-apa dan peristiwa ini sangat membekas dalam hati saya karena sebuah keindahan membuat kami larut dalam keterharuan yang luar biasa," katanya.
Mas Willi begitu Herry memanggilnya juga merupakan orang yang dapat diajak bicara apa saja sehingga jika pada saat meluangkan waktu dengannya maka berbagai macam topik akan menjadi pembahasan keduanya.
"Kalau Mas Willi ke Bandung seringkali menginap di rumah saya dan kami akan berbicara tentang berbagai hal termasuk masalah pribadi sekalipun," katanya.
Herry mengaku sangat dekat dengan keluarga Rendra sehingga seringkali saling telepon dengan Memey, putri Rendra dan berbagi cerita. "Begitu juga dengan Mba Ida, istri Mas Willi," katanya.
"Tetapi saya sangat menyesal karena sampai akhir kepergian Mas Willi tidak pernah bertemu karena berbagai kesibukan yang saya jalani," katanya.
Sepulang dari pemakaman WS Rendra di Depok, Herry menuturkan rencana untuk menengok sahabatnya pada 14 Juli 2009 batal karena saat itu Rendra sedang tidak ingin ditemui oleh siapa pun.
"Sehari sebelum pelaksanaan pameran di Lombok, saya berencana menengok Mas Willi namun ketika akan datang ke RS Harapan Kita ternyata dia sedang tidak mau dijenguk oleh siapa pun," katanya.
Pertemuan dengan penulis "Sebatang Lisong" itu pun tidak pernah terjadi. "Ajaibnya lagi, saat Mas Willi meminta menggantikannya sebagai pembicara sebuah acara di Kalimantan, saya juga tidak dapat memenuhinya karena bertepatan dengan hari pertunjukan saya," ujarnya.
Keajaiban yang tidak mempertemukan Rendra dan Herry ini menjadi penyesalan yang mendalam bagi seniman lukis, penulis teater asal Bandung ini.
Ketika ditanyakan perbedaan karya-karya puisi yang dibuat WS Rendra semasa muda hingga akhir hidupnya, Herry mengakui terjadi perubahan yang sangat signifikan.
"Sekarang Mas Willi lebih tenang saat membacakan puisinya jika dibandingkan masa mudanya dulu yang selalu berteriak dengan berapi-api," katanya.
Namun ia menegaskan seluruh isi puisi yang berisi kritikan-kritikan pedas tetap tidak berubah meski usia Rendra sudah semakin bertambah. "Saya sangat mengidolakan dia," ujarnya.
WS Rendra dalam usianya ke-74 tahun meninggal dunia di RS Mitra Keluarga, Jakarta, Kamis, 6 Agustus 2009, pukul 22.10 karena diduga penyakit jantung.
Rendra dimakamkan di Bengkel Teater Seni WS Rendra, Citayam, Depok, Jawa barat pada Jumat pukul 14.05 yang dihadiri oleh rekan-rekan seniman dan budayawan serta beberapa pejabat negara.
Karya-karya puisi Rendra di antaranya adalah Balada Orang-Orang Tercinta Kumpulan sajak), Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta, Blues untuk Bonnie, Jangan Takut Ibu dan Mencari Bapak.
Sedangkan karya naskah teaternya diantaranya Orang-orang di Tikungan Jalan (1954), Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata) SEKDA (1977) dan Selamatan Anak Cucu Sulaiman.(*)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009