Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dokumen palsu yang diduga terkait dengan kesaksian (testimoni) Ketua KPK non-aktif Antasari Azhar tentang dugaan suap terhadap dua pimpinan KPK.
Pimpinan KPK M Jasin, Chandra M Hamzah, dan Bibit Samad Rianto menyampaikan hal itu dalam keterangan pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis.
Jasin mengatakan, dokumen palsu tersebut adalah surat pencabutan pencegahan pengusaha Anggoro Wijoyo untuk pergi ke luar negeri.
"Dengan ini kami sampaikan, surat pencabutan larangan ke luar negeri atas nama Anggoro Wijoyo yang ada pada pihak kepolisian yang dilaporkan oleh Antasari tersebut adalah palsu," kata Jasin.
Seperti diberitakan, Antasari diduga menulis kesaksian bahwa dua pimpinan KPK telah menerima suap dari Anggoro Wijoyo terkait kasus dugaan korupsi sistem komunikasi radio terpadu.
Menurut Jasin, tuduhan suap itu diduga antara lain untuk mencabut status pencegahan Anggoro.
Jasin menegaskan, KPK tidak pernah mencabut status pencegahan itu. Bahkan, KPK justru menetapkan Anggoro sebagai tersangka dan memasukkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena tidak pernah memenuhi panggilan.
"KPK tidak pernah mengeluarkan surat pencabutan pelarangan bepergian ke luar negeri atas nama saudara Anggoro Wijoyo dan kawan-kawan," kata Jasin.
Jasin mengatakan, status pencegahan terhadap Anggoro masih berlaku.
Dalam surat pencabutan pencegahan palsu bernomor R-45/22/V/I/2009 tertanggal 5 Juni 2009 itu tertera nama dan tandatangan Wakil Ketua KPK, Chandra M Hamzah.
Chandra membantah mendandatangani surat pencabutan pencegahan Anggoro. "Tanpa pemeriksaan ahli pun, bisa dilihat perbedaan tandatangannya," kata Chandra sambil membandingkan format surat palsu itu dan surat asli format KPK.
Selain itu, Chandra juga membeberkan berbagai kejanggalan dalam surat tersebut. Surat itu menggunakan format lambang burung garuda di pojok kiri atas lembar surat. Padahal, KPK selalu menggunakan format kepala surat di tengah atas.
Kemudian, kata "Pemberantasan" dalam frasa Komisi Pemberantasan Korupsi tercetak dengan tinta merah. Padahal, KPK selalu menggunakan tinta hitam untuk frasa tersebut.
"Kalau untuk singkatan KPK, huruf P nya merah," kata Chandra menjelaskan.
Chandra menambahkan, KPK selalu menyebutkan nama dan nomor aturan hukum yang menjadi dasar pencegahan atau pencabutan pencegahan. Surat palsu itu tidak mencatumkan nomor dasar hukum.
"Secara resmi kami sampaikan surat itu palsu," kata Chandra.
KPK telah mengirim surat ke Polri tentang temuan tersebut. Chandra meminta polisi menindaklanjuti surat KPK tersebut.
M. Jasin menambahkan, tuduhan suap terhadap oknum KPK diduga juga bertujuan agar KPK mengembalikan barang bukti yang disita dan menghentikan penyidikan kasus SKRT yang melibatkan pimpinan PT Masaro Radiokom, Anggoro Wijoyo.
Jasin membantah hal itu karena KPK tidak pernah mengembalikan barang bukti yang telah disita. Selain itu, penyidikan kasus Masaro tetap berlanjut, dengan Anggoro Wijoyo sebagai tersangka.
Menurut pimpinan KPK, testimoni Antasari tentang dugaan suap terhadap pimpinan KPK itu tidak bisa dijadikan bukti hukum, meski ada bukti tertulis dan rekaman.
Chandra M. Hamzah menyatakan, informasi yang diperoleh Antasari dari Anggoro itu termasuk dalam kategori "testimonio de audito" atau keterangan yang diperoleh dari orang lain. Pasal 185 KUHAP menyatakan, keterangan seperti itu tidak bisa dijadikan alat bukti.
Sementara itu, Bibit Samad Rianto mempertanyakan kejanggalan testimoni tersebut.
Antasari merekam pembicaraan dengan Anggoro pada Oktober 2008, dan baru menyampaikannya dalam bentuk testimoni setelah ditahan oleh polisi pada Mei 2009.
"Jadi dia merahasiakan itu sekitar enam bulan," kata Bibit.
Menurut Bibit, seharusnya Antasari membicarakan hal itu dengan pimpinan lain untuk mengusutnya secara hukum, bukan merahasiakannya.
Bibit menegaskan, perbuatan Antasari itu bisa berujung pada pelanggaran kode etik, terutama terkait kejujuran pimpinan KPK.
"Nanti ini bisa lari ke masalah kejujuran," kata Bibit.
Selain itu, pertemuan Antasari dengan Anggoro juga merupakan pelanggaran UU KPK. pasal 36 UU KPK menyebtukan, "Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun."
Menurut Bibit, tim pengawasan internal KPK sedang meneliti berbagai kemungkinan pelanggaran dalam kasus testimoni Antasari tersebut.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009