Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ferdiansyah meminta agar metode pembelajaran dalam jaringan (daring) yang dilakukan saat pandemi COVID-19 menjadi referensi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam menyusun cetak biru.
"Kami minta agar pembelajaran pada saat pandemi COVID-19 ini untuk menjadi referensi Kemendikbud dalam menyusun cetak biru pendidikan, yang saat ini sedang dipersiapkan Kemendikbud," ujar Ferdi dalam telekonferensi efektivitas pembelajaran daring yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Jakarta, Senin.
Dengan dimasukkan ke dalam cetak biru, maka suatu waktu akan terjadi situasi krisis maka proses pembelajaran tidak lagi gagap seperti yang terjadi saat ini.
"Kami harus menyampaikan apresiasi kepada Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan lembaga swasta yang terlibat dalam dunia pendidikan. Tanpa partisipasi lembaga swasta, tentu pelaksanaan pembelajaran pada saat pandemi COVID-19 ini akan tergagap-gagap," kata anggota DPR dari Fraksi Golkar itu.
Baca juga: Legislatif Kepri minta provider gratiskan kuota data belajar daring
Baca juga: Komisi X dorong program berkelanjutan pendidikan jarak jauh
Dia menambahkan pembelajaran daring selama pandemi COVID-19 itu, harus menjadi evaluasi menyeluruh untuk setiap jenjang pendidikan. Ada sekolah yang sudah "berlari" kencang, namun ada juga sekolah yang baru memulai pembelajaran daring itu.
"Kita harus jujur bahwa selama ini, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) belum menjadi budaya kita. Mengapa demikian? Kalau sudah menjadi budaya tentu tidak akan tergagap lagi dalam situasi krisis seperti saat ini.
Belum semua lembaga yang menyelenggarakan pembelajaran daring, jika tidak ada pandemi ini. Namun, karena pandemi, mau tidak mau pembelajaran daring diselenggarakan masing-masing lembaga pendidikan," terang Ferdi.
Pembelajaran daring yang dilakukan tidak hanya melalui jaringan internet, namun bisa juga dengan jaringan televisi dan radio. Akan tetapi, belum setiap daerah yang terjangkau jaringan televisi.
Ia menyebut di daerah pemilihannya, Garut dan Tasikmalaya, yang mana berjarak sekitar 300 kilometer dari Jakarta, namun jaringan televisi belum menjangkau seluruh wilayah.
Pandemi COVID-19, kata dia, berdampak pada 68,729 juta siswa di Tanah Air. Siswa SD dan sederajat paling banyak mengikuti pembelajaran jarak jauh yakni sekitar 28,58 juta siswa. Kemudian diikuti siswa SMP sederajat yakni sebanyak 13,08 juta siswa yang belajar dari rumah.
"Pandemi COVID-19 menuntut dunia pendidikan melakukan kegiatan belajar-mengajar secara daring, namun ironisnya tidak seluruh satuan pendidikan memiliki akses listrik, apalagi internet," kata dia.
Sebanyak 6.604 dari 116.783 SD tidak memiliki jaringan listrik. Kemudian untuk jenjang SMP, sebanyak 817 tidak memiliki akses listrik dan 86 SMA pun tidak memiliki akses listrik.
Secara keseluruhan, sebanyak 179.097 sekolah memiliki akses listrik dan internet. Kemudian 33.227 sekolah memiliki listrik tetapi tidak memiliki jaringan internet.
Sejumlah tantangan dialami selama pembelajaran daring mulai dari teknologi, beban tugas berat, waktu pengerjaan tugas sedikit, dan minimnya keterampilan guru dalam pembelajaran jarak jauh.
"Belajar jarak jauh belum menjadi budaya dalam proses pembelajaran di Indonesia. Banyak guru dan siswa yang kaku melakukan pembelajaran, hanya untuk menyelesaikan silabus kurikulum," kata Ferdi.
Wakil Dekan III FIP UMJ, Imam Mujtaba, mengatakan diskusi yang diselenggarakan UMJ penting bagi mahasiswa untuk mengetahui metode pembelajaran lainnya selain tatap muka.
"Kami harap diskusi ini dapat membuka wawasan mahasiswa mengenai pengelolaan pembelajaran daring," kata Imam.*
Baca juga: Para petani belajar perhutanan sosial via daring saat pandemi
Baca juga: PGRI minta pemerintah mudahkan akses internet untuk belajar di rumah
Pewarta: Indriani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020