Jakarta, (ANTARA News) - Kepergian mantan pelatih tim nasional Inggris, Sir Bobby Robson menghadap Sang Khalik pada Jumat (31/7), mengerat bibir setiap pecinta bola sejagat akan kemilau mutiara makna kesetiaan di tengah semarak pasar dunia yang mengagungkan nilai "cuek bebek". Kesetiaan mengobati erosi jiwa.

Sosok legenda sepak bola itu tampil di arena kehidupan bagaikan oase di padang gurun karena menyegarkan dan menginspirasi setiap insan. Selama 56 tahun, Bobby Robson meniti kesetiaan sebagai pemain dan manajer.

Pada Piala Dunia 1990, "Three Lions" melaju sampai semifinal, walau akhirnya kalah dari Jerman barat lewat adu penalti. Waktu itu, mata publik Inggris terbuka akan sisi edukatif dari kesetiaan, bahwa sukses tidak begitu saja dibangun dalam semalam. Kesetiaan kerap berbalut kedukaan.

Pers Inggris punya tabiat tampil garang, siap menerkam dan siap melumat siapa saja, dari pelatih sampai pemain. Gagal menukangi timnas berarti "kiamat". Umpatan muncrat, dan kata-kata di halaman berita dan ulasan ujung-ujungnya, "Silakan hengkang!"

Jiwa terkikis lantaran terlukis krisis kontemplasi di bingkai kehidupan. Bukankah tabiat manusia kontemporer yakni suka bergaya aktif, miskin bermenung. Sang Legenda tampil dengan pesan kenabian (profetis) yakni kesetiaan.

Buktinya? Selama meniti karier sebagai pelatih pada 1982-1990, ia menuai cemooh dari pers kemudian menuai pujian ketika meninggalkan timnas Inggris. Kosa kata "dungu" dan "tidak berguna" dilontarkan berbagai program televisi setempat kepada Bobby Robson. Dampratan serupa diterima oleh manajer Graham Taylor, Sven-Goran Eriksson dan Steve McClaren. Apa jawabnya?

Sinisme media Inggris terbayar kontan. Dengan mengusung optimisme, Robson menjawab, "Ketika saya diterpa kritik, kerapkali nadanya tajam menghujam relung pribadi. Saya pun terus berolah kata dengan diri sendiri bahwa saya tidak bisa menganggap semua itu seolah-olah tidak ada. Saya hanyalah manusia biasa," katanya seperti ditulis oleh pengamat sepak bola Niall Edworthy dari buku The Second Most Important Job in The Country. Kesetiaan punya sisi kemanusiaan. Sinisme dan kritisisme tampil sebagai bunga kehidupan.

"Kejuaraan Eropa 1988 jadi periode tersulit dalam perjalanan hidupku, dalam perjalanan karierku. Kami kalah karena kurang beruntung ketika melawan Irlandia dan Belanda. Jika engkau melakukan kekeliruan sekecil apa pun, engkau akan menuai hukuman dari publik. Inilah sepak bola," katanya. Jarum kompas bagi kesetiaan salah satunya respons dari publik.

Kepada para punggawanya, ia berkata, "Para pemain dan pelatih kerapkali beranggapan bahwa semua wartawan punya sisi pandang sama. Tiada hari tanpa kritik. Tidak semua anggapan itu benar. Lihat dan cermati betul apa kasusnya". Kalau ada kebencian jawablah dengan kesetiaan. Kalau saja ada keraguan bayarlah dengan keteguhan hati dan kecintaan.

Dan buktinya? Dalam hitungan belasan tahun terakhir, Robson berjuang dengan penyakit kanker setelah sempat menjalani beberapa kali operasi. Ketika masih aktif menjadi pemain, Robson pernah memperkuat timnas Inggris sebanyak 20 kali dan tampil pada Piala Dunia 1958 dan 1962.

Buahnya? Ia mengalami tiga kali patah kaki, dua kali terkilir, dua kali patah jari tangan, kerusakan tulang rusak, hernia, patah tulang jari kaki dan kerusakan urat tendon Achilles. "Serangkaian cedera yang dialami Robson ini diketahui oleh pers. Ia pribadi yang dicintai pers Inggris. Ia tidak melontarkan kritik balik kepada pers. Ia merayakan cinta dan menumbuhkan kesetiaan," kata wartawan harian Daily Telegraph Tim Butler.

Kesan bernuansa cinta, bernada setia dilontarkan wartawan harian The Sun, Brian Woolnough. Katanya, "Ada antusiasme ketika bicara bersama dia (Bobby Robson). Yang bisa dilakukan hanyalah mencintai sesama. Ia membuat dirinya selalu siap berterima ketika diwawancarai wartawan." Kritik, kesetiaan dan kecintaan jadi tritunggal laga kehidupan. Ini efek abrakadabra dari Robson.

Sebagai pelatih, Robson pernah menukangi sejumlah klub papan atas Eropa, seperti PSV Eindhoven, Sporting Lisbon, Porto, dan Barcelona. Setahun di Camp Nou, Sir Robson memboyong Piala Spanyol, Piala Super Spanyol, dan Piala Kejuaraan Eropa buat Barca. "Viva Barca, Viva Barca," begitu publik berseru dengan penuh kecintaan dan kesetiaan bagi Robson yang lahir di County Durham, pada 18 Februari 1933.

Kolumnis Julie Tunney menyebut Robson sebagai "Gentleman of Game". Ketika Sir Robson menerima tugas sebagai manajer Newcastle United pada September 1999, ia melukiskan penunjukkan itu sebagai, "pulang kampung".

Pada Agustus 2004, ia dipecat dari The Magpies. Ia kemudian mengartikulasikan kesetiaannya kepada dunia bola dengan mengemban tugas sebagai konsultan tim Irlandia. Robson memproklamasikan diri sebagai sosok "yang setia untuk setia".

Pada Desember 2007, ia menyabet penghargaan dari BBC sebagai Tokoh Olahraga Tahunan, yang diberikan rekan sejawatnya manajer Manchester United, Sir Alex Ferguson. Ia juga berdedikasi dengan pemupukan bakat-bakat muda. Hasilnya dua pemain Belanda yakni Arnold Muhren dan Frans Thijssen. Kemudaan menjadi ranting-ranting bagi pohon kesetiaan.

Makna apa yang dapat dicuplik dari pernik diskursus seputar Bobby Robson, kritik dan kesetiaan? Bagi mereka yang bekerja di gedung-gedug jangkung Metropolitan Jakarta, ketahuilah bahwa "Titanic stiry" melahirkan "Titanic effect" dalam perilaku konsumen.

Maksudnya, tenggelamnya perusahaan atau bangkrutnya merek terpulang kepada kurang pahamnya personel perusahaan mengenai pola berpikir konsumen. Pemahaman yang pas-pasan melahirkan ketidaksetiaan. Obatnya, kritik dari konsumen!

Bagi mereka yang masih berusia remaja, lihatlah kepolosan dan ketulusan para sahabatmu. Berilah kelonggaran dan keleluasaan dalam semangat kebersamaan. Meminjam "tag line"nya: "asyik, jika kita rame-rame".

Meminjam ungkapan bahasa Latin: Hodie mihi, cras tibi (hari ini aku, esok Anda). Post Scriptum: Bobby Robson menuai kritik dan menyongsong kematian dengan kesetiaan abadi.(*)

Pewarta: Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009