Juba, Sudan (ANTARA News/AFP) - Bentrokan sengit antara kelompok-kelompok etnik yang bersaing di Sudan selatan menewaskan lebih dari 160 orang, kebanyakan dari mereka perempuan dan anak-anak, seorang pejabat regional mengatakan, Senin.
Bentrokan antara kelompok etnik Murele dan saingan mereka Lo Nuer terjadi Ahad di daerah Akobo di negara bagian Jonglei, komisaris regional Goi Jooyul mengatakan pada AFP.
Ia mengatakan 100 perempuan dan anak-anak, 50 pria dan 11 tentara termasuk diantara yang tewas.
"Kami memiliki 161 orang yang telah dikonfirmasikan tewas, dan orang-orang mencari di semak-semak lebih banyak korban," kata Yol.
"Kami khawatir mungkin akan ada lebih banyak orang yang tewas ditemukan," ia menambahkan. "Situasi di kota Akobo tegang, dan orang-orang yang melarikan diri dari pertempuran akan terus tiba ke kota itu," ia menambahkan, berbicara melalui telpon dari Bor, ibukota Jonglei.
Yol mengatakan pertempuran telah berakhir tapi ada kekhawatiran bahwa kekerasan mungkin akan mulai lagi.
"Oang-orang lapar dan situasinya serius," kata Yol. "Bagaimanapun kami masih mengharapkan bahwa ini tidak akan meluas dan bahwa pembicaraan antara semua kelompok akan menjadi mungkin."
Pertempuran itu tiba hampir tiga bulan setelah 250 orang tewas ketika para petempur Murele menyerang warga desa Lou Nuer di wilayah yang sama.
Sebanyak 750 orang tewas dalam bentrokan satu bulan sebelumnya di daerah Pibor, lebih ke selatan.
Secara keseluruhan, lebih dari 1.000 orang telah tewas dan beberapa ribu lagi orang terlantar akibat pertempuran di Sudan selatan dalam beberapa bulan belakangan ini, dengan beberapa pejabat PBB memperingatkan bahwa angka kematian belakangan ini telah melewati angka kematian di wilayah Darfur di Sudan barat yang dirusak-perang.
Negara bagian Jonglei adalah salah satu daerah yang terpukul paling keras dalam perang saudara utara-selatan dua dasawarsa lamanya di Sudan, yang berakhir pada 2005 dengan perjanjian pembagian kekuasaan antara utara yang Muslim dan selatan yang Kristen dan animis.
Negara bagian itu masih diliputi dengan senjata kecil dan bentrokan sering terjadi di antara kelompok-kelompok etnik yang bersaing.
Kampanye perlucutan senjata yang dilakukan dengan canggung kecuali tidak efektif telah menyebabkan wilayah itu berisiko mendapat serangan dari tetangga-tetangga mereka yang masih bersenjata.
Menurut perjanjian yang mengakhiri perang saudara terlama di Afrika itu, selatan memiliki periode otonomi regional sementara enam tahun dan mengambil bagian dalam pemerintah persatuan hingga referendum mengenai penentuan nasib sendiri 2011.
Pemerintah telah berjuang untuk memelihara ketertiban di negara bagian yang seukuran Austria dan Swiss digabungkan itu.
Empatpuluh tentara tewas Juni ketika satu kelompok etnik menyerang tongkang yang membawa bantuan pangan di sungai Sobat.
Serangan itu menyusul bentrokan Mei antara kelompok etnik Lou Nuer dan Jikany, yang mana sedikitnya 66 orang tewas, menurut para pejabat setempat.
Pertempuran itu meningkatkan kekhawatiran akan ketidakstabilan potensional pada masa depan dengan pemilihan nasional akan diadakan pada 2010.
(*)
Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2009