Jakarta (ANTARA) - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan penilaian yang cermat terhadap epidemiologi lokal harus memandu tindakan masa depan untuk memerangi COVID-19, di tengah peningkatan kasus dan upaya negara-negara Asia Tenggara melonggarkan penguncian secara bertahap.

Menurut Direktur Regional WHO Asia Tenggara Dr. Poonam Khetrapal Singh, negara-negara di kawasan harus terus mengambil tindakan yang berdasarkan bukti dan melakukan penilaian risiko dengan hati-hati, sambil berupaya memulihkan kesehatan masyarakat.

“Fokusnya harus pada epidemiologi lokal COVID-19, untuk mengidentifikasi hot-spot dan klaster, serta kapasitas sistem dan responden untuk menemukan, mengisolasi, merawat dan mengkarantina kasus,” kata Dr. Singh dalam keterangan pers WHO Asia Tenggara, Sabtu.

Direktur Regional WHO, yang mengadakan pertemuan pengarahan teknis virtual dengan para pejabat kesehatan senior dari 11 negara anggota untuk sesi Majelis Kesehatan Dunia ke-73 mendatang, mengatakan bahwa meskipun Asia Tenggara menjadi yang pertama mendapatkan kasus COVID-19 pada 13 Januari di Thailand, langkah-langkah awal dan agresif oleh negara-negara anggota, termasuk langkah-langkah pembatasan fisik yang belum pernah terjadi sebelumnya, telah membantu mereka menjaga jumlah kasus tetap rendah dibandingkan dengan kawasan lain.

“Dengan negara-negara sekarang bersiap untuk transisi menuju ‘normal baru’ di mana kehidupan sosial dan ekonomi dapat berfungsi, melanjutkan pendekatan seluruh pemerintah dan seluruh masyarakat akan menjadi langkah penting,” kata Dr. Singh.

Baca juga: Cara Korea Selatan dan Vietnam perangi COVID-19

Hingga 15 Mei 2020, Asia Tenggara mencatat sekitar 122.000 kasus dan 4.000 kematian akibat COVID-19. Negara-negara di kawasan memiliki skenario penularan yang beragam, dengan kasus yang semakin meningkat.

Dalam setiap skenario penularan, langkah-langkah inti kesehatan masyarakat tetap diberlakukan melalui deteksi cepat, pengujian, isolasi, perawatan dan pelacakan kontak, yang menurut Dr. Singh perlu ditingkatkan.

Sebagai kawasan yang rawan bencana alam, Asia Tenggara telah memprioritaskan penguatan kapasitas tanggap darurat sebagai program unggulan sejak 2014.

Pada September 2019, negara-negara anggota mengadopsi Deklarasi Delhi tentang Kesiapsiagaan Darurat di Kawasan Asia Tenggara. Deklarasi itu menegaskan kembali komitmen mereka yang berkelanjutan untuk pengurangan risiko bencana melalui pendekatan multirisiko terhadap kesiapsiagaan darurat.

Baca juga: WHO lihat "data berpotensi positif" dalam pengobatan COVID-19

Deklarasi tersebut menyerukan "empat i" yaitu mengidentifikasi risiko (identify risks); berinvestasi pada orang dan sistem untuk manajemen risiko (invest in people and systems for risk management); mengimplementasikan rencana (implement plans), dan menghubungkan sektor dan jaringan (inter-link sectors and networks).

"Deklarasi itu tepat waktu dan kami melihat pendekatan ini digunakan di seluruh kawasan," kata Dr. Singh.

Kawasan berpenduduk seperempat dari populasi global itu serta dengan beban penyakit yang tidak proporsional, bagaimanapun, terus menjadi rentan mengingat kepadatan populasi yang tinggi, daerah kumuh mega-perkotaan, kelompok migran, dan penggerak sosial-ekonomi yang berdampak pada kepatuhan terhadap jarak fisik dan sosial. Permasalahan ditambah dengan keterbatasan obat-obatan penting dan komoditas secara global.

“Pada masa mendatang, semua upaya harus dilakukan untuk mengendalikan dan menekan penyebaran COVID-19, memperkuat dan memelihara layanan kesehatan, dan saling mendukung untuk tetap aman, sehat dan sehat,” Dr. Singh menegaskan.

Baca juga: Riset vaksin COVID-19 jadi fokus utama program kerja sama EU dan ASEAN

Baca juga: Organisasi internasional minta vaksin COVID-19 bebas paten dan murah

Presiden Jokowi usulkan kerja sama farmasi antar Negara ASEAN APT

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020