Jakarta (ANTARA News) - Mantan presiden Filipina Corazon "Cory" Aquino, yang meninggal Sabtu pada usia 76 tahun, dulu adalah orang yang enggan menjadi pemimpin kendati ia memimpin revolusi yang memulihkan negaranya menuju demokrasi pada 1986.

Selama tiga hari pada Februari tahun itu, dunia menjadi saksi saat perempuan yang berpakaian kuning terang tersebut memimpin jutaan orang dalam pemberontakan damai yang menggulingkan diktator Ferdinand Marcos, yang telah memerintah dengan tangan besi selama dua dasawarsa.

Selama enam tahun berikutnya, Corazon --pemeluk kuat Katholik Roma-- mengubah undang-undang dasar.

Namun masa jabatan kepresidenannya, menurut kantor berita Prancis, AFP, dikotori oleh sedikitnya enam upaya kudeta gagal oleh militer, pertikaian militer, serangan gerilyawan dan kegagalannya mengubah sistem politik yang didominasi oleh suku keluarga elit.

Majalah Times menjadikan Corazon sebagai "woman of the year"-nya pada 1986 dan pada 2006 menjadikan dia sebagai salah seorang pahlawan Asia, dan memuji dia sebagai "keberanian yang tenang" serta menggambarkan dia sebagai "lambang Kekuatan Rakyat dan aspirasi bagi orang lain yang sedang berjuang melawan tirani di seluruh dunia".

Corazon (76), yang menderita kanker usus besar, dilaporkan menolak perawatan medis lebih lanjut setelah ia masuk ke satu rumah sakit Manila pada penghujung Juni, dan anggota keluarganya menemaninya dan pendudu di negara tersebut berdoa bagi kesembuhannya.

Corazon, yang dilahirkan di Cojuangco di provinsi Tarlac di bagian utara Filipina pada 25 Januari 1933, berasal dari keluarga yang istimewa, berkuasa dan kaya.

Ia mengenyam pendidikan di Amerika Serikat dan Manila, dan tak memiliki ambisi politik, tapi semua itu berubah ketika ia bertemu dan menikah dengan Benigno "Ninoy" Aquiona, wartawan muda yang memiliki reputasi besar dan juga berasal dari suku Tarlac, pada 1954.

Ninoy dipandang oleh banyak orang sebagai calon presiden, tapi buat Marcos, yang saat itu menjadi senator, ia menjadi ancaman. Pada September 1972, Marcos mengumumkan keadaan darurat dan memenjarakan ratusan pengeritik dan penentangnya, termasuk Ninoy, yang kemudian hidup di pengasingan karena alasan medis.

Corazon Aquino membantu oposisi bertahan hidup, dan berbicara lantang atas nama suaminya serta menuntut perubahan.

Pada 1983, Ninoy --yang tak mengacuhkan saran teman-temannya-- terbang kembali ke Filipina dari pengasingan di Boston untuk bertemu dengan Marcos, yang sedang sakit. Namun bahkan sebelum ia keluar dari pesawat, ia ditembak oleh beberapa pembunuh.

Jandanya, yang dirundung sedih, terbang kembali ke Filipina, tempat ia secara menceburkan diri untuk menyatukan kubu oposisi.

"Saya tak berusaha melakukan pembalasan, hanya keadilan, bukan hanya buat Ninoy tapi buat rakyat Filipina yang menderita," kata Corazon saat ia dengan terpaksa menerima pencalonannya.

Setelah Marcos menang dalam pemilihan umum, yang dinodai oleh kecurangan besar, pihak oposisi --yang dipimpin oleh Corazon dan didukung oleh gereja Katholik-- segera mengumpulkan sebanyak satu juta orang di jalan.

"Kekuatan Rakyat" telah lahir, Marcos segera terguling dan Corazon diambil sumpahnya sebagai presiden.

Ia segera membentuk satu komite guna merancang undang-undang dasar baru, melucuti kroni Marcos yang menguasai ekonomi dan membebaskan sejumlah pegiat politik.

Corazon juga memulai pembicaraan dengan gerilyawan Muslim dan komunis, tapi upayanya segera kandas oleh berbagai masalah di dalam koalisi pemerintah yang ia bangun. Ia belakangan lolos dari serangkaian upaya kudeta berdarah.

Selama menjalani masa pensiun, dan sampai ia menderita sakit, Corazon tetap tampil di hadapan umum, dan seringkali berbicara lantang menentang pelecehan yang diduga terjadi di dalam pemerintah.

Ia menjadi pengeritik lantang Presiden Gloria Arroy, yang keluarganya telah dituduh melakukan korupsi besar, dan bergabung dengan protes di jalan guna menentang Arroyo sampai ia didiagnosis menderita kanker usus besar pada Maret tahun lalu.

Corazon pernahan mengatakan, "Saya menyadari bahwa saya dapat membuat keadaan jadi lebih mudah buat diri saya kalau saya telah melakukan tindakan yang terkenal, dan bukang menyakitkan tapi tindakan yang lebih baik dalam jangka panjang. Namun, dalam jangka panjang, saya takkan ada untuk dipersalahkan."(*)

Oleh
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009