Jakarta (ANTARA) - Ada kabar baik dan membanggakan di tengah pandemi COVID-19 global yang juga saat ini dialami oleh Indonesia.

Tidak tanggung-tanggung, prestasi itu berskala dunia. Kelompok nelayan ikan tuna di Pulau Buru, Provinsi Maluku dinyatakan lulus sertifikasi ekolabel internasional untuk sektor perikanan dan kelautan.

Sebuah kelompok beranggotakan sebanyak 123 nelayan kecil penangkap ikan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) di Pulau Buru itu berhasil meraih sertifikasi ekolabel dari Marine Stewardship Council(MSC).

Sebelumnya pada tahun 2014, kelompok nelayan tuna di Pulau Buru ini juga telah memperoleh sertifikat ekolabel "Fair Trade Seafood" pertama di dunia.

Skema dari sertifikasi "Fair Trade Seafood" ini memberikan insentif berupa dana premium bagi nelayan, dalam hal ini nelayan kecil di Pulau Buru, sekaligus menyediakan harga, lingkungan pekerjaan, dan menjaga keberlanjutan sumber daya ikan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut proses sertifikasi ini merupakan yang pertama kali dilakukan untuk nelayan kecil (one-day fishing) di Indonesia, bahkan di dunia.

Menteri KKP Edhy Prabowo dalam pernyataan resmi pada Selasa (12/5) 2020 menyampaikan rasa bangga atas capaian tersebut karena secara faktual, sebanyak 70 persen produk tuna di Indonesia merupakan hasil tangkapan nelayan skala kecil.

Saat ini, kontribusi perikanan tuna Indonesia sebesar 16 persen terhadap produksi perikanan tuna dunia (SOFIA, 2018).

Pemerintah Indonesia berkomitmen mendukung nelayan skala kecil dan keberlanjutan perikanan tuna.

Edhy Prabowo menyatakan capaian keberhasilan kelompok nelayan tuna di Pulau Buru itu menjadi contoh bahwa produk perikanan Indonesia diakui oleh dunia.

Sedangkan Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN-Bappenas Sri Yanti menyatakan perjalanan dan proses yang dilalui oleh nelayan tuna di Pulau Buru itu harus dijadikan pembelajaran untuk secara holistisk meningkatkan kesejahteraan nelayan sekaligus memastikan keberlanjutan dari sumberdaya.

Hal itu kemudian sejalan dengan komitmen nasional dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).

Perikanan berkelanjutan ini selaras dengan upaya pencapaian SDGs khususnya Tujuan-14 mengenai ekosistem lautan, yang telah diatur melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No 59 tahun 2017 tentang pelaksanaan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.

Sejumlah nelayan di Pulau Buru, Provinsi Maluku usai melaut dengan hasil tangkapan ikan tuna sirip kuning (yellowfin tuna). Kelompok nelayan ikan tuna di Pulau Buru baru saja dinyatakan lulus sertifikasi ekolabel internasional untuk sektor perikanan dan kelautan dari Marine Stewardship Council (MSC). (FOTO ANTARA/HO-Bappenas-UNDP Global Marine Commodities Project)

Baca juga: Tuna sirip kuning berhasil dipijahkan

Baca juga: Thailand bakal buka industri pengolahan tuna di Surabaya


Kelestarian

Bagi pemangku kepentingan di sektor perikanan tangkap sertifikasi ekolabel MSC adalah sebuah dambaan.

Terlebih bisnis makanan laut di seluruh dunia sudah berkomitmen secara terbuka pada penggunaan sumber daya alam (SDA) yang lestari.

Karena itulah kian banyak pihak di sektor perikanan yang berjuang untuk memenuhi standar kelestarian MSC itu.

Lantas, apakah MSC itu sehingga sertifikasi itu memerlukan perjuangan dan kerja keras untuk mencapainya?

Dalam buku panduan yang dikelurakan oleh WWF di laman https://seafoodsustainability.org disebutkan bahwa MSC merupakan program sertifikasi dan ekolabel terkemuka di dunia untuk makanan laut alami yang lestari.

Melalui program sertifikasi dan ekolabel makanan lautnya, MSC berusaha untuk mengakui dan memberi penghargaaan pada perikanan lestari dan untuk memanfaatkan daya beli konsumen dan retailer untuk memromosikan praktik-praktik yang bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Secara bersama-sama, perikanan yang telah disertifikasi oleh MSC atau yang telah dievaluasi sepenuhnya mencakup lebih dari 11 persen dari hasil penangkapan ikan tahunan global dari alam.

Di seluruh dunia, lebih dari 15.000 produk makanan laut telah dibubuhi ekolabel biru MSC.

Sertifikasi MSC memastikan bahwa produk makanan laut yang diberi label berasal dari perikanan lestari yang dikelola dengan baik.

Standar lingkungan MSC untuk penangkapan ikan yang lestari memiliki tiga prinsip menyeluruh yang diukur dari 31 indikator kinerja terperinci.

Penilaian MSC berfokus untuk menilai kesiapan perikanan tuna di Indonesia dengan prinsip yang meliputi, pertama: stok tuna yang aman di lautan, kedua: dampak minimal terhadap lingkungan, dan ketiga: tersedianya tata kelola yang baik dan menggunakan pendekatan kehati-hatian (precautionary approach).

Penerapan MSC kemudian menghasilkan langkah aksi yang dijadikan sebagai panduan perbaikan perikanan tuna, yaitu Program Perbaikan Perikanan (Fisheries Improvement Program/FIP).

Baca juga: TRIUMPH teliti sebaran larva tuna di perairan Indonesia

Baca juga: Apakah ikan tuna kalengan aman dikonsumsi?


Sinergi

Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN/Bappenas Sri Yanti yang mengapresiasi kesuksesan Kelompok Nelayan Tuna di Pulau Buru meraih sertifikat ekolabel internasional terkait dengan telah terpenuhinya prinsip-prinsip pengelolaan yang berkelanjutan dalam perikanan menyebut sinergi adalah kata kunci dari capaian itu.

Kesuksesan perolehan sertifikasi itu sejalan dengan komitmen para pihak terkait, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha, akademisi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk bersinergi meningkatkan kinerja perikanan nasional melalui pembangunan berbasis wilayah, yaitu melalui Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP).

Di samping itu, juga wujud dari sinergi kerja sama yang baik antara KKP, Pemerintah Provinsi Maluku, serta dengan Direktorat Kelautan dan Perikanan di Kementerian PPN/Bappenas melalui Proyek Program Pembangunan PBB ​(UNDP) Global Marine Commodities, khususnya dalam mendukung percepatan penyusunan Harvest Strategy tuna di perairan Kepulauan Indonesia serta pembaharuan Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna Cakalang dan Tongkol, serta dari MSC "Fish for Good".

Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP M Zulficar Mochtar menyatakan sertifikasi ekolabel tersebut menjadi bukti penguatan akses pasar produk ikan tuna di dunia.

Ini artinya pengelolaan perikanan skala kecil dengan pancing ulur (handline) tuna mampu memenuhi standar tertinggi untuk mewujudkan keberlanjutan yang ditetapkan, baik regional maupun internasional.

Ia menyebut permintaan dari pasar luar negeri, khususnya Uni Eropa sangat ketat akan persyaratan sehingga dengan adanya sertifikasi itu menjadi nilai tambah bagi nelayan Indonesia untuk kesejahteraan yang lebih baik.

Capaian itu diperoleh berkat adanya kerja sama dengan Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) dengan mitra kerja Anova Food and PT. Harta Samudra serta Asosiasi Nelayan Buru selaku pemegang sertifikat bersama.

Kerja sama dengan MDPI itu telah dijalin sejak 2018. MDPI mengembangkan skema Fair Trade yang bertujuan untuk memberikan insentif berupa dana premium (premium price) bagi nelayan dengan mengutamakan keberlanjutan sumber daya ikan.

Seorang nelayan di Pulau Buru, Provinsi Maluku menggotong ikan tuna sirip kuning (yellowfin tuna) tangkapannya. Kelompok nelayan ikan tuna di Pulau Buru baru saja dinyatakan lulus sertifikasi ekolabel internasional untuk sektor perikanan dan kelautan dari Marine Stewardship Council (MSC). (FOTO ANTARA/HO-Bappenas-UNDP Global Marine Commodities Project)

Keberhasilan ini juga merupakan bukti bahwa kerja sama antara pemerintah, pelaku usaha, LSM masyarakat mampu membina nelayan kecil untuk memenuhi standar sertifikasi ekolabel MSC yang dikenal sangat tinggi, didukung oleh komitmen pemegang sertifikat untuk menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan perikanan tuna berkelanjutan dalam kegiatan usahanya.

Proyek UNDP Global Marine Commodities (GMC) dan MSC Indonesia, katakan M Zulficar Mochtar, telah banyak memberikan dukungan teknis terhadap pencapaian tersebut.

Project Coordinator GMC UNDP Indonesia Jensi Sartin menambahkan terus meningkatnya permintaan pasar global akan produk perikanan yang berasal dari praktik berkelanjutan, mendorong dilakukannya perbaikan di sepanjang rantai pasokan perikanan Indonesia untuk menjaga daya saing serta keberlanjutan komoditas perikanan nasional.

Proyek Global GMC (2018-2021) yang dikoordinasikan Kementerian PPN-Bappenas dengan dukungan teknis dari UNDP dan pembiayaan oleh GEF berkontribusi untuk membantu transformasi komoditas perikanan dari sisi kebijakan dan perencanaan.

Transformasi itu dengan mengarusutamakan keberlanjutan dalam rantai pasokan komoditas perikanan dari Indonesia melalui pembentukan platform multistakeholder perikanan berkelanjutan nasional, penyusunan peta jalan perikanan berkelanjutan, dukungan bagi percepatan perbaikan perikanan rajungan dan tuna menuju sertifikasi MSC, dan penyediaan informasi bagi penyusunan kebijakan.

Saat ini proyek GMC tengah mendukung secara langsung perbaikan perikanan pada rajungan dan Tuna Pole and Line untuk memenuhi standar keberlanjutan yang diakui di pasar global dalam satu hingga dua tahun ke depan, misalnya melalui sertifikasi ekolabel seperti MSC.

Skema yang dibuat oleh yayasan MDPI dan mitranya bersama dengan kelompok nelayan tuna di Pulau Buru itu dapat menjadi model untuk direplikasi di perikanan lainnya, khususnya oleh nelayan kecil yang mendominasi perikanan nasional maupun secara global.

Pengorganisasian nelayan-nelayan kecil dalam kelompok fair trade yang sifatnya customary management ini ternyata memperkuat pengelolaan pada perikanan skala kecil sehingga mampu memenuhi prinsip-prinsip perikanan berkelanjutan yang disyaratkan MSC, yang umumnya lebih mudah dicapai oleh perikanan skala besar.

Prestasi dunia yang diraih kelompok nelayan tuna di Pulau Buru itu bak oasis di tengah bangsa Indonesia sedang bekerja menangani COVID-19.*

Baca juga: Kelompok Nelayan Maluku Utara terima dana Rp1,3 miliar

Baca juga: Pengusaha perikanan nasional perlu manfaatkan momentum perang dagang

Copyright © ANTARA 2020