Denpasar (ANTARA News) - Pemodernan Pelabuhan Feri Gilimanuk -Ketapang yang ditandai penerapan tiket elektronik, akan menggusur kepentingan banyak orang, termasuk mereka yang selama ini menikmati uang hasil kolusi dari permainan tiket pengangkutan kendaraan bermotor.
"Tantangannya memang berat. Ada pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat tidak bisa lagi `memainkan` selisih uang tiket. Semula banyak terjadi pembayaran uang tiket bus atau truk, tetapi yang masuk perusahaan hanya seharga tiket minibus," kata Direktur Utama PT (Persero) Indonesia Ferry (ASDP), Bambang Soerjanto di Denpasar, Kamis.
Ratusan orang, dari kalangan calo, preman, maupun oknum pegawai dan pihak lain yang selama ini diduga terlibat dalam permainan tiket guna mendapatkan "uang siluman" itu, disinyalir ikut menghambat upaya modernisasi sarana, sistem dan penerapan teknologi informasi sistem tiket elektronik yang mulai diterapkan.
Meski menghadapi tantangan berat, namun Bambang Soerjanto yang dipercaya memimpin BUMN yang menangani operasional kapal penyeberangan itu sejak Mei 2008, merasa optimistis upaya modernisasi Pelabuhan Feri Ketapang-Gilimanuk akan bisa berhasil.
Ia memberi contoh upaya modernisasi Pelabuhan Feri Merak - Bakauheni yang merupakan barometer pelabuhan penyeberangan di Indonesia, walaupun menghadapi tantangan jauh lebih berat, akhirnya juga bisa berhasil.
Sumber lain menyebutkan, upaya modernisasi Pelabuhan Feri Merak - Bakauheni, menggusur kepentingan lebih dari 900 orang dari kalangan calo, preman, pegawai pelabuhan hingga oknum aparat keamanan, yang semula biasa menikmati "uang siluman".
Sementara di Pelabuhan Feri Ketapang-Gilimanuk, upaya menghambat penerapan tiket elektronik dan tahapan modernisasi selanjutnya, menurut sejumlah keteranga di antaranya dilakukan dengan turut menggerakkan pedagang asongan dan tukang ojek untuk terus-menerus melakukan unjuk rasa.
Ratusan pedagang asongan dan tukang ojek yang semula beroperasi secara acak di berbagai lokasi, termasuk daerah terlarang di Pelabuhan Feri Gilimanuk, telah ditempatkan pada lokasi khusus yang merupakan bagian dari upaya penataan kawasan pelabuhan.
Namun sudah hampir dua minggu para pedagang asongan dan tukang ojek itu terus bergejolak. Selain berunjuk rasa di lokasi pelabuhan, juga mengadu ke DPRD dan Pemkab Jembrana, sehingga peresmian penerapan tiket elektronik terus tertunda.
Bambang Soerjanto berharap berbagai pihak mendukung upaya modernisasi pelabuhan feri itu dan tidak mudah dihasut untuk turut melakukan unjuk rasa atau upaya menghambat lainnya, yang sebenarnya hanya bertujuan melanggengkan sistem pengelolaan pelabuhan yang tidak sehat.
"Pihak-pihak yang `bermain` untuk mendapatkan uang dengan cara ilegal di pelabuhan, sebenarnya tidak saja merugikan perusahaan, termasuk perusahaan pelayaran dan negara, tetapi juga merugikan masyarakat pengguna jasa.
Hal itu mengingat jika seluruh hasil penjualan tiket yang sebenarnya itu masuk ke perusahaan, maka operator pelabuhan tersebut akan memiliki dana lebih besar guna meningkatkan pelayanan.
Bambang juga berharap para pengguna jasa, baik penumpang maupun jenis angkutan barang, termasuk kendaraan bermotor, tidak lagi takut terhadap petugas pelabuhan maupun tekanan dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
"Sekarang ini paradigmanya harus dibalik. Pengguna jasa merupakan `raja` yang harus dilayani. Karena itu petugas pelabuhan tidak lagi boleh melakukan tekanan terhadap pengguna jasa. Apalagi jika hal itu juga melibatkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, maka harus dilawan atau dilaporkan kepada pihak berwenang," pintanya.
Dengan penerapan tiket elektronik dan upaya modernisasi lainnya, termasuk komputerisasi dan pemasangan kamera pengintai serta perbaikan fasilitas kapal, sarana penyeberangan itu akan mampu memuaskan pengguna jasa, tambah Bambang.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009