Jakarta (ANTARA News) - Kantor Berita Jerman atau DPA adalah tulang panggung banyak media cetak Jerman, tetapi kini semakin banyak saja perusahaan pers yang ragu melangganinya. Bisnis layanan berita terbesar Jerman itu memang lagi dalam bahaya.

Dengan sekitar 450 editor dan penulis, mesin informasi raksasa ini menghasilkan ratusan berita per hari, menajamkan materi berita dari seluruh dunia sampai layak siar, lalu disalurkan ke koran, stasiun penyiaran dan majalah. Ini menurut Pemimpin Redaksi DPA Wilm Herlyn.

Tetapi, mesin informasi raksasa itu bagai ketel uap mahal yang hanya menghasilkan produk dangkal yang keluar dari realita. Nah kalau ini suara pelanggan DPA.

Selasa sore 16 April 2009, biro DPA di negara bagian Mecklenburg-Pomerania Barat, pukul 1.50 pm, menurunkan berita, "Menteri Transportasi Volker Scholtmann (SPD) menggelar poster kampanye 'Selamatkan Jalan Desa' dekat (kota) Schwerin."

Pukul 2.02 pm, redaksi pusat DPA malah menyiarkan berita, "Republik Ceko dan Swiss fokus pada Pekan Dansa ke-18 di Dresden dari 22 sampai 29 April 2009."

Contoh itu menunjukkan betapa bermasalahnya DPA dan walau kategorinya berita cetek, tetaplah uang kantor telah terhisap, padahal keuangan lembaga kian seret karena setoran dari pelanggan menyusut. DPA pun kehilangan pijakan.

Hessische/Niedersächsische Allgemeine, koran milik raja media Dirk Ippen, memutuskan berhenti berlangganan jasa raksasa berita Jerman itu, demikian pula grup penerbit suratkabar WAZ yang berbasis di Essen, North Rhine-Westphalia.

Sementara para eksekutif pers lain ragu apakah mereka masih meminati produk berita DPA.

Bisnis inti DPA sudah dalam status lampu merah sejak 2007.

Laporan Keuangan tahun 2008 memang belum diterbitkan, tetapi DPA sudah mengalihkan kantong uang utamanya ke divisi iklan dan humas, Saluran News Aktuell.

Masalah besar lain yang merongrong DPA adalah pencurian material berita di Internet.

Sejumlah perusahaan media yang kelewat berani membajak konten DPA, mendistribusikannya atas nama mereka dan mendapatkan iklan dari situ.

Dalam soal ini, Kantor berita dunia besar seperti Associated Press AS dan Agence France-Prese Prancis, mengkampanyekan perang terhadap pembajakan berita.

DPA yang didirikan pada 1949, sungguh dalam kondisi mengkhawatirkan, padahal pada masa jayanya, hampir semua perusahaan pers Jerman menjadi pelanggannya. DPA sendiri dimiliki oleh koran, majalah dan stasiun penyiaran pelanggannya.

Satu surat kabar beroplah 200.000 eksemplar mesti mengeluarkan Rp6,6 miliar per tahun (Rp33 ribu per pembaca) untuk berlangganan penuh DPA. Tapi kini, banyak perusahaan pers mengeluhkan kelewat mahalnya berlangganan DPA.

Internet

"Orang tak bisa mengabaikan rasio untung rugi, tapi akan memalukan jika tak ada lagi kantor berita Jerman. Saya usul kita bersama mempelajari cara-cara untuk menyeimbangkan beban dan pendapatan," kata Konstantin Neven DuMont.

Muka baru yang lagi menanjak dari Cologne dan menguasai kerajaan pers seperti koran Stadt-Anzeiger di Koln, Rundschay di Franfurt dan Zeitung di Berlin ini, adalah anggota dewan penasihat DPA.

DPA sulit berharap mendapat dukungan lebih mengingat koran-koran juga tengah dibelit krisis.

Pemimpin Redaksi WAZ Ulrich Reitz membatalkan berlangganan DPA karena harus memilih antara memecat wartawan atau menyelamatkan 4 juta dolar AS (Rp40 miliar dolar AS) yang dipakai untuk melanggani DPA namun kini dianggap membebani perusahaan.

Kini WAZ bekerja tanpa tergantung pada DPA.

"Kami tidak pernah lagi mendapat keluhan dari pembaca. Berita-berita kami menjadi lebih independen dibanding sebelum ini," kata Direktur Pelaksana WAZ Bodo Hombach.

Namun, para manajer produksi DPA curiga jangan-jangan WAZ mencatut berita-berita DPA yang berseliweran di Internet.

Untuk itu, DPA mengoperasikan program bernama Attributor untuk meneliti apakah konten berita WAZ dijiplak dari DPA. Masalahnya, produk berita DPA luar biasa banyak. Bayangkan, ada 800 item berita sehari, dan itu bertambah lima kali dalam 20 tahun terakhir.

Belum lagi dari biro-biro DPA di 12 negara bagian yang masing-masing menghasilkan 100 berita per hari, ditambah 700 foto sehari.

Banjir informasi ini tumpah ke meja redaksi perusahaan-perusahaan pers, diserap internet, kemudian ditapis oleh laman milik koran. Akhirnya, berita itu tak lagi menjadi milik DPA. DPA pun gigit jari.

Citra pudar


Para manajer penghuni villa putih di mana DPA berkantor, di kawasan eksklusif Poseldorf, Hamburg, bukannya tidak tahu dengan kondisi di atas. Mereka mati-matian mencari solusi.

"Saya bisa dengan mudah mendirikan kantor baru yang melayani konten untuk redaksi perusahaan-perusahan pers online," kata Herlyn.

Tapi itu tidak mudah dilakukan, sekalipun oleh Pemimpin Redaksi Spiegel Online Wolfgang Buchner yang sejak awal Juli menggantikan posisi Herlyn sebagai bos DPA.

Lagi pula, reformasi sekecil apapun mesti disetujui semua mitra sehingga itu malah membatasi ruang gerak DPA.

Herlyn sendiri memilih memasuki bisnis yang berhubungan langsung dengan pengguna, diantaranya dengan menjalin kerjasama dengan mesin pencari Google News.

Namun kantor berita Jerman ini telah begitu ketinggalan pada era multimedia ini, karena bos-bosnya kurang mempedulikan new media (internet dan multimedia) yang dilihat mereka lebih sebagai ancaman, ketimbang peluang.

Makanya, jangan kaget kalau kini reputasi DPA kusam seperti radio-radio pemerintah yang hanya mampu menyediakan produk informasi alakadarnya.

Citra sebagai kantor berita besar pun memudar. Kantor berita-kantor berita pesaing yang dulu gentar oleh kekuatan DPA, kini berupaya memanfaatkan masalah yang sedang membelit DPA itu.

Pada masa lalu, sesulit apapun masalah keuangan yang dihadapi surat kabar, DPA tetap ajeg.

"Tapi kini hari-hari itu telah berlalu," kata Matthias Schulze, Direktur Pelaksana DDP, kantor berita Jerman pesaing DPA.

Dalam beberapa tahun terakhir DDP telah berubah menjadi perusahaan pers yang menguntungkan dengan mempekerjakan 145 wartawan.

Sebagai kantor berita kedua terbesar Jerman, DDP mesti memilih apa yang mesti ditawarkannya kepada pelanggan.

Herlyn menyebut cara bisnis DDP ini pilih-pilih namun Schulze membela diri bahwa langkah itu dilakukan karena volume berita yang bisa dihasilkan DDP adalah 50-60 persen dari yang ditawarkan DPA yang harganya lebih mahal.

DPA jelas tak bisa menganggap enteng DDP yang lebih kecil namun lebih fleksibel bergerak itu, bahkan mantan Pemimpin Redaksi Reuters wilayah Eropa, Wolfgang Wahner-Schmidt, mengatakan DPA mesti mengakali lagi model bisnisnya.

"DPA harus memutuskan apakah memilih menjadi pemasok berita yang disubsidi seperti radio-radio pemerintah, atau menjadi lembaga jurnalistik berkualitas tinggi yang bergerak lincah di pasar dan membuktikan kemampuannya," katanya.

Reuters yang mulanya perusahaan telegram di London, kini telah menaklukan pasar dengan predikatnya sebagai kantor berita internasional.

Menurut Wahner-Schmidt, DPA harus membuat dirinya sangat dibutuhkan oleh pelanggan, "Berita-beritanya harus lebih cepat, lebih baik, lebih cermat. Tak ada upaya selain itu." (*)

Sumber: Der Spiegel, April 2009, disarikan oleh Jafar Sidik

Oleh
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009