Magelang (ANTARA) - Kakawin Jawa Kuno, Nagarakretagama yang mashyur itu, selesai ditulis pujangga Prapanca pada 1365 dalam suasana kehidupannya di desa, setelah mengundurkan diri dari gemerlap kejayaan Kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk (1350-1389).

Wikipedia menyebut Prapanca dipecat dan malu karena kehilangan jabatan sebagai "dharmadyaksa" atau penghulu kerajaan lalu menyingkir dari keramaian kota kerajaan dan tinggal di gunung.

Peneliti, filolog, dan dosen tamu Universitas Gajah Mada Yogyakarta I. Agustirto Surayuda dalam pengantar buku "Kakawin Nagarakertagama: Teks dan Terjemahan" mengemukakan pentingnya pemaknaan lain atas tafsir sejarawan Slamet Muljana (1929-1986) bahwa penulis kakawin itu dalam suasana kesedihan, kekecewaan, marah, mendongkol, merasa terhina, dan tak berarti.

"Perlu kita maknai secara lain," tulisnya dalam pengantar buku 314 halaman yang disusun sastrawan, Damaika Saktiani dan kawan-kawan, yang terbit pertama pada 2016.

Kehilangan jabatan, pengaruh, dan kekuasaan hingga harus menyingkir dari lingkaran pusat kerajaan yang kemudian waktu dimengerti sebagai berada pada masa puncak kejayaan Majapahit dan menjadi tonggak penting sejarah Indonesia itu, bukan menjadikan Prapanca putus asa dan meratap.

Sebelumnya, ia menyertai Hayam Wuruk termasuk perjalanan raja melawat ke berbagai wilayah kekuasaannya. Banyak pengalaman didapat, sedangkan ingatan serta catatan perjalanan pun digenggam.

Keadaan di mana, Prapanca tinggal di kesunyian desa itu, rupanya justru melengkapi perjalanannya untuk memanen pencerahan berupa jejak bermakna bagi generasi bangsa selanjutnya. Penggalan jalan hidupnya itu menjadi salah satu bukti bahwa manusia berjejak mewariskan ruang dan waktu bermakna.

Ketika sudah mengambil jarak dengan istana dan kemudian tinggal di desa di kawasan gunung itulah, Empu Prapanca melahirkan pupuh demi pupuh hingga terkumpul 98 pupuh yang kemudian mashyur sebagai karya sastra di atas lontar, Nagarakretagama.

Kakawin yang lahir dari tempat sunyi itu, pada zaman kemudian menjadikan jejak bagi bangsa untuk mengetahui dan menggali semakin lengkap tentang Majapahit dengan puncak kejayaan di bawah Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada.

Pengalaman perjalanan dan berbagai pengetahuan diserap sang pujangga yang disebut Agustirto sebagai pribadi menep, rendah hati, dan bersikap positifnya, melahirkan Kakawin Nagarakretagama.

Karya Prapanca menjadi bagian bagi pelanjut generasi bangsa mengerti dan kemudian melengkapi pustaka bangsa, antara lain menyangkut kekuasaan wilayah, tata pemerintahan, relasi antara kemakmuran dan ketaatan rakyat, tatanan sosial, ketakziman relasi manusia dan Sang Maha Tertinggi, seni dan budaya, keragaman lingkungan alam dengan flora, fauna, topografi, dan musim.

Dari kakawin yang diciptakan karena kehendak sendiri penulisnya itu pula, generasi bangsa mengetahui tentang sang pujangga tersebut, sebagaimana dijumpai dalam sejumlah pupuh terakhir Nagarakretagama.

Bahkan, tulis Agustirto, demi ide kejayaan Nusantara, Prapanca melalui jejak itu seakan tidak membesar-besarkan peristiwa Bubat yang memalukan Raja Hayam Wuruk.

Akan tetapi, sang empu memberi kesempatan berbagai sumber lainnya untuk menyampaikan pemahaman atas Perang Bubat.

Nagarakretagama lahir dari sunyi yang menyergap pujangga kaya catatan atau mungkin ingatan atas perjalanan rajanya dan ingar bingar kehidupan kota kerajaan serta kehidupan rakyat Majapahit.

Berbagai catatan seakan kemudian disemburkan dengan daya pikiran, nurani, perspektif, improvisasi, dan karsa sehingga melahirkan kakawin yang penting bagi Bangsa Indonesia tersebut. Pada 2008, Badan PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) memasukkan Nagarakretagama dalam status Daftar Ingatan Dunia.

Proses lahirnya Nagarakretagama justru terjadi dalam suasana penulis bertahta di kesunyian desa dan berjarak dengan episentrum kerajaan.

Dalam konteks imajinasi manusia menghadapi pandemi virus corona baru (COVID-19) abad ini dengan keharusan tinggal di rumah, barangkali suasana keterbatasan keluar dari sunyi dan kesendirian batin itulah, kakawin lahir.

Baca juga: Jakarta Biennale "meruang" di Central Park

Baca juga: Pelukis berharap bantuan pemerintah, lukisan tak laku akibat Corona


Tak beda

Ihwal suasana Empu Prapanca dalam proses diri menulis Nagarakretagama abad ke-14 itu, seakan tidak jauh beda dengan dikerjakan seniman kawasan Gunung Merapi, Ismanto, ketika mengikuti anjuran pemerintah untuk warga tinggal di rumah dan jaga jarak karena pandemi COVID-19 abad ini.

Ia melahirkan lukisan yang kemudian diberi judul "Meruang". Lukisan itu hanyalah salah satu dari puluhan karyanya di tengah nuraninya menggerakkan raga untuk menolong siapa saja terdampak pandemi global.

Ismanto terus melukis. Hasil lukisannya menjadi pemantik aksi peduli secara barter untuk membantu mereka yang paling terdampak pandemi. Mereka yang mengoleksi karyanya pun, secara otomatis juga terlibat membantu penanganan dampak pandemi.

Di rumahnya yang artistik dan sekaligus bagian dari Sanggar Gadhung Mlati Dusun Ngampel, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yang dikelolanya itu, ia sibuk menuang inspirasi dan impovisasi menjadi lukisan di atas kanvas.

Sambil menunggu antre waktu untuk disalurkan, tumpukan puluhan paket sembako di dekatnya berkarya, seakan menjadi warna-warni tersendiri dalam suasana kesibukan dan kebatinan Ismanto. Paket-paket sembako diadakan dengan uang hasil penjualan beberapa lukisan sebelumnya.

Sembako disalurkan kepada siapa saja terdampak pandemi di sekitarnya maupun tempat lebih jauh dari tempat tinggalnya di tengah rumah-rumah perkampungan warga kawasan barat daya puncak Gunung Merapi itu

Melalui telepon pintar dan berbagai platform digital yang diramahi, ia sajikan karya demi karya lukis sembari mengemukakan model barter untuk mewujudkan peduli kemanusiaan. Hasil pelepasan setiap karya menjadi modal pengadaan sembako bagi warga terdampak COVID-19.

Tak ada tawar-menawar harga untuk setiap karya. Siapa saja berminat mengoleksi dan ingin membeli untuk ikut program barter sumbangan, maka karyanya itu dilepas.

Diakui dia tanpa menyebut nilai uang, ada lukisan dibeli dengan harga dianggap murah, tetapi ada karya lain yang dianggap sederhana, namun kolektor dari kota besar membayar dengan harga tinggi.

"Mungkin memang niatnya ikut menyumbang. Ada juga kolektor minta lukisan sesuai keinginannya. Order," kata dia.

Ismanto yang juga tokoh penting di kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) itu, sedang "meruang" dalam kesadaran pentingnya jaga jarak dan tinggal di rumah, akibat penyebaran virus.

Kekayaan pustaka ide dan luasnya relasi, terutama dalam berolah seni dan budaya, membuatnya tidak patah arang ketika harus mengikuti kebijakan jaga jarak dan tinggal di rumah agar tidak terpapar atau malah kemungkinan memaparkan virus ke orang lain.

Ketika saluran relasi dibangun, dijaga, selalu terhubung, dan bahkan bisa terkoneksi kembali dalam situasi pandemi virus, proses berkarya seni dan ide barter sumbangan menjadi viral. Respons pun berdatangan.

Bahkan, dia menyebut saat ini nyaris kewalahan karena energi terus berkarya yang tak bisa dibungkam virus, sekaligus masih melepas daya-daya kebaikan lain, untuk melayani tawaran berbicara secara langsung melalui kanal media sosial dan stasiun radio di sejumlah kota besar, yang meminta penjelasan soal barter karya menyiasati pandemi.

"Saya sadar diri, senang sibuk. Sibuk bekerja, berpikir, dan bahkan guyon juga sibuk. Sekarang ada wabah, kalau melihat orang merasa tidak bisa apa-apa, mandek, atau bahkan mengeluh, saya malah sakit. Makanya saya merasa harus selalu meruang," katanya.

Karya "Meruang", lukisan yang bebas diungkap pesan, makna, dan konteksnya oleh siapa saja, seperti soal kreativitas, berpikir positif, adaptif, toleransi, energi hidup, atau tentang membangun kegunaan diri. Karya abstrak itu cermin tentang manusia dan keberadaan.

Bahkan, lukisan kanvas berbentuk bujur sangkar dengan ukuran satu meter persegi itu, membuat cara pandang dari sisi dan sudut mana pun terhadap "Meruang", tetaplah berbicara secara memikat serta reflektif tentang manusia yang selalu berolah diri.

Jaga jarak fisik manusia karena pandemi virus tak membungkam kreativitas. Dengan olah kekayaan dan kesadaran diri secara lantip dan mungkin ditabur nur wangsit, kebijakan jaga jarak mengulik kreativitas mengolah kekayaan tabungan ide menjadi tetenger hidup.

Kakawin Nagarakretagama hasil olahan Empu Prapanca dalam ruang sunyi ditangkap "dewa waktu" menjadi ilmu pengetahuan, warisan luhur, dan ragam energi makna tentang jejak serta tonggak bangsa jaya.

Begitulah kiranya, tetenger manusia global yang sedang berenang di samudra pandemi virus abad ini, kelak berjumpa dengan "dewa waktunya" tersendiri.

Beruntunglah mereka yang mampu meruang!

Baca juga: Lukisan Van Gogh dicuri dari museum Belanda yang ditutup karena corona

Baca juga: Pelukis Borobudur eksplorasi jamu untuk melukis saat pandemi COVID-19

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020