Jakarta (ANTARA News) - Sebuah pertunjukan wayang kulit akan digelar di Cilandak Town Square Jakarta, Kamis (30/7), sebagai upaya mengenalkan kesenian itu kepada generasi muda dan masyarakat perkotaan pada umumnya.
"Dengan menghadirkan wayang kulit di mal, kita berharap mereka dapat memahami falsafah, nilai-nilai luhur serta tuntunan yang ada dalam cerita pewayangan tersebut," ujar Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Jakarta Ki H Rohmad Hadiwijoyo, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa.
Rohmad, yang juga Ketua Pengurus Harian Yayasan Lontar, mengatakan, pertunjukan dilakukan oleh Yayasan Lontar dan Putrowijoyo Parwo, bekerja sama dengan Center for Development Studies (CIDES) dan Pepadi DKI Jakarta.
Ia mengatakan, cerita wayang di Cilandak Town Square adalah "Bale Segolo-golo" yang merupakan bagian dari pergelaran wayang kulit "The Bima Series". Cerita yang akan dibawakan oleh dalang kondang Ki Joko Edan itu menggambarkan intrik politik di Astina.
Rohmad, yang juga seorang dalang, mengatakan, "Bale Segolo-golo" merupakan seri kedua dari lima seri kisah kolosal yang terangkum dalam "The Bima Series". Seri pertama dengan lakon Bima Bungkus telah digelar di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, 24 April, dengan dalang Ki H Anom Suroto.
Seri ketiga dengan cerita Babad Wonomarto akan dibawakan Ki Manteb Soedharsono, seri keempat Wirata Parwa akan digelar bersama dalang Ki Sugito Purbocarito, dan cerita penutup Kresna Duta akan dibawakan oleh Ki Purbo Asmoro.
Rohmad mengatakan, dewasa ini ada kesan bahwa seni wayang identik dengan "barang kuno". Hal itu tidak lain karena kelangkaan informasi dan kurangnya akses terhadap jenis kesenian ini, sehingga seni wayang kurang dipahami generasi muda khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya.
Padahal, katanya, wayang kulit sarat dengan kearifan budaya. Bersama dengan agama, kearifan budaya merupakan sarana perekat bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Sayangnya selama ini ada kecenderungan memposisikan budaya secara keliru, sebagai objek propaganda politik dan ekonomi semata. Budaya belum dilihat sebagai komponen yang independen yang mampu memberikan kontribusi yang lebih banyak kepada masyarakat luas dan negara," katanya.
Yayasan Lontar adalah badan usaha nirlaba pemerhati permasalahan literatur kebudayaan Indonesia. Didirikan tahun 1987 oleh beberapa sastrawan besar Indonesia seperti Goenawan Mohammad, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Subagio Sastrowardoyo, serta budayawan dari Amerika Serikat John H McGlynn.
Selain pementasan wayang, Yayasan Lontar juga akan menyiapkan paket pendidikan dan ensiklopedia wayang dalam sejumlah bahasa, yakni Prancis, Inggris, Jerman, dan Indonesia, dengan biaya sekitar Rp2 miliar. Sebagian dana yang diperlukan telah disumbangkan oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), The World Bank, dan Bima Sena Mining & Energy Society.
Pewarta: Luki Satrio
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009