Jakarta (ANTARA News) - Pemilihan Umum Presiden 2009 secara resmi berakhir, ditandai dengan pengumuman dan penetapan hasil rekapitulasi suara pada Sabtu (25/7) lalu di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jalan Imam Bonjol Jakarta Pusat.

Meski masih menuai protes dan keberatan dari beberapa pihak, namun berdasarkan hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh lembaga penyelenggara pemilihan umum tersebut, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono - Boediono meraih 73.874.562 atau 60,80 persen.

Sedangkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto meraih 32.548.105 suara atau 26,79 persen dan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto mendapatkan 15.081.814 suara atau 12,41 persen.

Total suara sah dalam pilpres 2009 tercatat 121.504.481 dan suara tidak sah sebanyak 6.479.174 suara. KPU mencatat jumlah pemilih pilpres yaitu 177.195.786 orang.

Dari jumlah pemilih tersebut, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya yaitu 127.999.965 atau 72,24 persen. Sedangkan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya tercatat 49.212.158 atau 27,77 persen.

Penetapan hasil penghitungan suara pilpres memang sejak lama sudah dipermasalahkan oleh pasangan capres-cawapres nomor urut satu, Megawati-Prabowo dan nomor urut tiga, Jusuf Kalla-Wiranto karena dipandang ada masalah terkait daftar pemilih tetap (DPT).

Sebelum hari pemungutan suara, salah satu cawapres, Prabowo sempat menyatakan bahwa dugaan DPT bermasalah harus diselesaikan sebelum hari pemungutan suara.

"Ini saya kira menjadi tanggungjawab kita sebagai bangsa dan hal ini yang disesalkan bisa terjadi dalam suatu alam demokrasi," kata Prabowo.

Untuk masalah kekacauan DPT itu, menurut Prabowo, perlu ada pertanggungjawaban pemerintah dan hal semacam itu seharusnya tidak pantas terjadi di Indonesia.

Sementara itu dari kubu capres-cawapres nomor urut tiga, Jusuf Kalla-Wiranto terkait masalah DPT juga menyatakan hal yang sama yaitu dilakukan perbaikan sebelum hari pemungutan suara.

Kubu Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono lebih memilih menyerahkan masalah DPT ini pada KPU untuk diambil langkah penyelesaiannya.

Meski akhirnya telah dilakukan koreksi bersama antara KPU, kubu Mega-Prabowo dan JK-Wiranto, namun masalah DPT tetap mencuat pascapenghitungan dan penetapan hasil pilpres 2009 oleh KPU.

Gayus Lumbuun yang mewakili kehadiran pasangan calon Megawati-Prabowo saat rapat pleno KPU pada Sabtu (25/7) menyatakan menolak salinan keputusan tersebut.

"Kami mewakili pasangan calon Megawati dan Prabowo menolak menerima hasil penghitungan suara," kata Koordinator Tim Hukum pasangan Megawati-Prabowo ini.

Alasan penolakan itu, menurut Gayus, karena begitu banyak dugaan penyimpangan yang terjadi selama Pemilu Presiden 2009, termasuk ketidakberesan DPT.

Sementara itu, dari pihak pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, yang diwakili oleh Burhanuddin Napitulu mengatakan pihaknya menerima hasil penghitungan, meskipun tidak menandatangani berita acara dan akan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sejumlah masalah.

"Tapi yang pasti kita akan mengajukan ke MK beberapa masalah konstitusi yang sudah diinventarisasi oleh tim kampanye nasional, yaitu masalah DPT," katanya.

Usai pengumuman penetapan hasil pilpres 2009 oleh KPU, pasangan Capres-Cawapres Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono memberikan tanggapan mereka pascapilpres.

"Soal voting irregularities atau hal yang tidak benar seperti kekurangan-kekurangan tidak serta merta kecurangan atau `fraud`, namun semua tetap harus diselesaikan dengan baik," kata SBY di kediaman pribadinya di Puri Cikeas Bogor, Sabtu (25/7).

Menurut dia, sistem dan UU telah memberikan ruang untuk masing-masing pasangan menyampaikan protes dan aduan tentang pelaksanaan pilpres.

"Harapan kita itu dapat disalurkan dengan damai, menghormati demokrasi dan rule of law," kata SBY yang didampingi Boediono.

SBY mengatakan, pihaknya juga telah menghimpun berbagai temuan di lapangan yang mengarah pada dugaan votting irregularities atau hal yang tidak benar.

"Sebagian telah kami salurkan pada yang berwajib untuk mendapat penyelesaian yang adil," katanya.

Catatan penting

Pemenang dari perhelatan dan pesta demokrasi 2009 sudah ditetapkan dan tinggal menjalani sejumlah proses sesuai ketentuan perundangan, namun beberapa catatan penting dan pekerjaan rumah telah menanti.

Salah satu catatan penting dalam pilpres kali ini adalah tidak adanya muka baru dalam bursa capres dan cawapres yang bisa maju untuk bertarung dalam suksesi kepemimpinan nasional.

Pengamat politik yang juga Rektor Universitas Paramadina Anis Baswedan mengemukakan hal tersebut dalam sebuah diskusi yang berlangsung di Jakarta baru-baru ini.

"Saat ini belum terjadi transformasi kepemimpinan dari sisi usia karena hingga saat ini belum ada kaum muda yang mampu menarik perhatian masyarakat dengan membawa gagasan baru," kata Anis yang juga pengamat politik itu.

Ia menjelaskan, ketiadaan gagasan baru yang menarik masyarakat tersebut membuat pemimpin politik muda tidak bisa tampil karena sama saja dengan pemimpin politik yang telah ada.

Hal lain yang membuat transformasi kepemimpinan masih harus menunggu hingga 2014 mendatang, kata pria yang sempat menjadi moderator debat capres lalu adalah, belum banyak kaum muda membicarakan mimpinya dan kemudian menyampaikan serta mampu meyakinkan mimpi itu pada masyarakat.

"Padahal seorang pemimpin harus memiliki mimpi, karena pemimpi lah yang bisa menjadi pemimpin," katanya.

Hal lain yang menghambat munculnya seorang pemimpin politik muda adalah, masih kata Anis, belum ada seorang calon pemimpin muda yang dapat meyakinkan masyarakat bahwa ia telah selesai dengan dirinya atau dengan kata lain tidak ada konflik atau pertentangan yang timbul didalam dirinya saat ia memimpin nanti.

"Kita lihat pada masa lalu, bagaimana para pendiri negara ini mampu memancarkan apa yang ada di dalam semangatnya pada rakyat dan rakyat mau menerima visi itu karena yakin bahwa pemimpin mereka tidak punya kepentingan atau ketertarikan pribadi terhadap apa yang mereka bicarakan," tutur Anis.

Rektor termuda dalam sejarah Universitas Paramadina itu memaparkan hal lain yang menghambat kemunculan pemimpin politik muda adalah kadangkala empat entitas yang mendukung seseorang menjadi pemimpin kerap tidak dimiliki oleh individu muda itu.

"Massa, uang, jaringan dan intelektual merupakan empat hal yang menopang seseorang menjadi pemimpin. Meski memiliki tiga hal dari empat tadi cukup menghantarkan seseorang menjadi pemimpin namun tak mudah tiga hal itu dimiliki sekaligus," papar Anis.

Ia menegaskan, realitas hari ini komponen uang sangat kuat, yang mendorong hari ini muncul figur alternatif bukan hanya parpol tapi pemilik modal, suka atau tidak suka. Urusan uang dalam politik Indonesia masih dominan.

Masalah lain adalah belum adanya sebuah sistem yang terkoneksi di seluruh Indonesia yang menjamin sehingga setiap warga negara Indonesia yang berusia 17 tahun atau sudah menikah memiliki nomor induk kependudukan tunggal.

Seperti yang pernah disampaikan oleh salah satu anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo yang mengkritik UU Pemilu karena dianggap tidak sinkron dengan UU Kependudukan terkait adanya pemberlakuan NIK (Nomor Induk Kependudukan) pada kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat wajib untuk bisa memilih dalam Pilpres 8 Juli 2009.

MK dalam keputusannya menyebutkan calon pemilih yang tidak terdaftar di DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP dan kartu keluarga.

Namun yang terjadi, kata Bambang, justru banyak calon pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya hanya karena pada KTP mereka tidak memiliki NIK. Otomatis calon pemilih gagal menggunakan hak pilihnya.

"Masalah ini menjadi kasus yang menonjol dalam temuan Bawaslu pada Pilpres 2009," katanya.

Ia mengatakan, persoalan penggunaan KTP berpangkal dari ketidaksinkronan antara UU Pemilu dengan UU Kependudukan.

Dalam UU Kependudukan disebutkan bahwa pemberian NIK pada KTP (KTP lokal bukan nasional) baru akan selesai pada 2011.

Dari sejumlah hal itu, dari sejumlah provinsi, setidaknya baru satu provinsi yang merespons masalah itu, DKI Jakarta.

"Ini juga sesuai dengan Perpres No.26/2009 tentang KTP elektronik. Perpres itu bersifat mendesak sehingga pembuatan KTP elektronik dipercepat," ujar Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta Franky Mangantas, Jumat (24/7).

Nantinya, data penduduk akan dapat diakses secara online sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya pemalsuan, sementara jika masih ada pelanggaran, maka sanksi akan diberikan sesuai UU No.23/2006 tentang Administrasi dan Kependudukan.

Franky menyebut penerbitan KTP elektronik itu akan membutuhkan kerja sama dengan daerah lain dalam menyediakan data kependudukan.

"Sesuai petunjuk kependudukan dari Mendagri, setiap daerah mempunyai nomor register, maka akan diketahui KTP itu asli atau palsu salah satunya dengan mengetahui nomor register setiap daerah berbeda-beda," katanya.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan bahwa DKI Jakarta siap menjadi pilot project penerbitan KTP elektronik.

Oleh karenanya, gubernur mengimbau agar warga tidak menggunakan calo dalam pembuatan KTP apalagi memalsukan KTP.

Pesta demokrasi 2009 sudah usai, kini banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, kata pepatah, hanya keledai yang bisa terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali. Keledai dalam hal ini merujuk pada perilaku bodoh. (*)

Oleh Panca Hari Prabowo
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009