London (ANTARA News/AFP) - Harga minyak menguat pada Senin mendekati posisi tertinggi satu bulan, namun kenaikannya terganjal oleh ketidakpastian mengenai kemungkinan pemulihan ekonomi global, kata analis.
Minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman September naik 52 sen menjadi 70,84 dolar AS per barel setelah sebelumnya menyentuh 71,28 dolar AS - level yang terakhir dilihat pada 1 Juli.
Kontrak berjangka utama New York, minyak mentah "light sweet" untuk penyerahan September, meningkat 46 sen menjadi 68,51 dolar AS, setelah sempat mencapai posisi tertinggi 68,99 dolar AS.
"Di sana masih banyak ketidakpastian atas waktu dan besarnya pemulihan ekonomi riil," kata analis Sucden, Nimit Khamar.
"Oleh karena itu, ketidakpastian dan ayunan harga di pasar minyak cenderung tetap memberikan bahwa pasar minyak umumnya didominasi oleh ekspektasi makro (ekonomi)."
Terutama, lebih kuatnya dari perkiraan penghasilan perusahaan AS yang telah memicu harapan bahwa ekonomi terbesar di dunia itu telah sembuh dari resesi yang dimulai akhir tahun lalu.
"Secara teknikal, pasar sedang cenderung naik," tambah Khamar.
"Pada pekan depan, ada lebih banyak lagi pengumuman hasil perusahaan termasuk Exxon Mobil Corp, Chevron Corp dan Honda Motor, sedangkan peserta pasar juga sedang menunggu data PDB (Produk Domestik Bruto) AS pada Jumat."
Analis dari Petromatrix, Olivier Jakob mengatakan, pedagang minyak akan membawa pendorong mereka dari pasar saham global minggu ini.
"Karena kami masih ada di dalam musim laporan penghasilan perusahaan dan menghadapi beberapa masukan utama pada ekonomi AS minggu ini, pasar minyak masih mungkin didorong oleh pasar saham," ujar Jakob.
Harga minyak mentah sudah meningkat sekitar 10 dolar di New York selama dua minggu, terangkat oleh kuatnya pendapatan perusahaan dan data ekonomi AS yang memberikan kesan Amerika Serikat dan ekonomi utama lainnya mulai pulih.
Di Asia, kuatnya pertumbuhan kuartal kedua China 7,9 persen telah memicu harapan bahwa kawasan itu juga mulai lepas dari kemerosotan global yang dipimpin AS.
Setelah Amerika Serikat, China adalah pengguna energi nomor dua di dunia.
"Orang-orang menyimpulkan bahwa Asia tampaknya telah berubah - sekarang AS juga sedang menjalani pemulihan," kata Tony Nunan, seorang manajer unit usaha minyak internasional Mitsubishi Corp yang berbasis di Tokyo.
Namun, Phil Flynn dari PFG Best Research memperingatkan bahwa kenaikan harga minyak itu tidak didukung oleh fundamental ekonomi.
"Minyak telah mengabaikan `bearish`-nya fundamental pasokan dan permintaan sebagai dasar ekspektasi dari sebuah perbaikan ekonomi yang tampaknya menjadi sedikit lebih menyenangkan," ujar Flynn, menambahkan: "Setelah ini meletus, minyak akan jatuh keras."(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009