"Orang tua perlu rutin mendengarkan cerita anak dan keluh kesah anak, untuk kemudian mengajak anak berdialog dan menempatkan mereka sebagai subjek utama," katanya di Purwokerto, Banyumas, Rabu.
Wisnu yang merupakan dosen komunikasi keluarga Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Soedirman itu menjelaskan dengan menempatkan anak sebagai subjek utama dapat membuat anak makin yakin bahwa dia selalu dicintai, dihargai dan dimiliki oleh orang tuanya.
Baca juga: Jenis pelembap yang cocok untuk anak, losion atau krim?
"Pengalaman tersebut tentunya akan membekas dan diharapkan akan menjadi bekal bagi mereka kelak, sehingga tumbuh dewasa dengan penuh rasa bahagia," katanya.
Dia juga menambahkan momentum kerja dari rumah (work from home/WFH) pada saat pandemi COVID-19 saat ini perlu dimanfaatkan untuk meningkatkan interaksi antaranggota keluarga.
"Bila selama ini waktu untuk keluarga terkadang habis tersita untuk pekerjaan dan kegiatan di luar rumah. Kini saatnya, 'membayar hutang' kepada orang-orang tercinta di rumah dengan mengalokasikan sepenuhnya waktu secara kuantitas, dan tentunya secara kualitas," katanya.
Dia menambahkan bahwa momentum WFH dapat dimanfaatkan untuk mencurahkan perhatian kepada anak selama 24 jam sehari dan tujuh hari dalam sepekan.
Baca juga: Akademisi : Bermain tingkatkan kreativitas anak usia dini
"Ada banyak kesempatan yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan, orang tua menjadi lebih punya waktu untuk melihat dinamika tumbuh kembang anak, terlibat langsung dalam proses pembelajaran mereka dan memperkaya batin anak dengan memberi apresiasi, dukungan serta contoh yang konstruktif dalam berbagai kegiatan di rumah," katanya.
Namun demikian dia mengingatkan bahwa intensitas interaksi yang berpusat di rumah juga perlu memberi ruang kepada masing-masing anggotanya.
"Hal ini sejatinya memberi kesempatan belajar kepada anggota keluarga untuk menghargai privasi dan menghindari sikap intervensi. Melalui bahasa verbal dan nonverbal yang tepat, orang tua perlu mengatur kapan harus mengarahkan, membersamai dan memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada anak," katanya.
Berdasarkan hal tersebut, kata dia, maka anak akan percaya diri dengan keputusannya, anak pun akan menghargai ketika orang tua melakukan koreksi.
"Selain itu juga dapat untuk melatih anak untuk terbuka bercerita kepada orang tuanya," kata dia.
Baca juga: IDAI ajak warga kenali penyakit lupus pada anak sejak dini
Baca juga: IDAI: Beri dukungan bagi anak penderita lupus
Baca juga: Penderita lupus lebih berisiko terjangkit COVID-19
Pewarta: Wuryanti Puspitasari
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020