Jakarta,(ANTARA News) - Undang-undang antisubversif perlu dihidupkan lagi untuk mencegah atau mendeteksi lebih dini ancaman terorisme dan separatisme, kata seorang pengamat intelijen.
"Memang, undang-undang itu masih menyisakan trauma bagi sebagian masyarakat, penangkapan dilakukan dimana-mana terhadap siapa saja yang dianggap mencurigakan. Tetapi itu, cara pencegahan yang baik," kata pengamat intelijen Wawan Purwanto di Jakarta, Senin.
Ia menambahkan, dengan dihapuskannya UU Antisubversif itu semua alat deteksi, aparat pencegahan di setiap lini menjadi mandul.
"Aparat, hanya bisa menangkap setelah ada bukti. Sedangkan dulu, ibaratnya kedengaran jarum jatuh saja, semua aparat sudah bersiap mengamankan untuk pencegahan, sekarang harus ada bukti dulu baru ditangkap," tuturnya.
Padahal, lanjut Wawan, aksi terorisme adalah kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara terorganisasi dan tidak terduga. Namun, bukan berarti tidak bisa diantisipasi, tidak bisa dideteksi.
Beberapa negara seperti Malaysia dan Singapura masih menerapkan UU Antisubversif atau yang dikenal dengan Internal Security Act (ISA). Dengan perangkat undang-undang itu maka semua kegiatan terorisme dan separatis dapat dideteksi lebih dini.
Wawan mengatakan, selain undang-undang antisubeversif perangkat intelijen juga perlu dilengkapi dengan peralatan yang memadai sesuai perkembangan yang ada.
"Oke aparat kepolisian kita sudah memiliki prestasi yang bagus, bahkan diakui dunia dalam mengungkap aksi terorisme, tetapi mereka harus tetap dibekali peralatan modern hingga bisa `mengendus` ancaman teror lebih awal dengan lebih baik," katanya.
Hingga sepekan pascaledakan di Hotel JW Marriott dan Hotel Ritz Carlton di Mega Kuningan, aparat masih belum menemukan titik terang tentang pelaku. Aparat baru sekadar memastikan bahwa aksi teror itu dilakukan oleh kelompok Noordin M Top.
Bahkan reka ulang yang akan dilakukan di kedua hotel pada Senin (27/7) siang pun, hanya didasarkan pada kesaksian sejumlah tamu dan para karyawan hotel yang masuk saat bom meledak.(*)
Pewarta:
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2009