Jakarta (ANTARA) - Peneliti Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Mohammad Iqbal Ahnaf menilai ruang media sosial masih terbuka dijadikan sebagai sarana mobilisasi isu negara Islam.
"Memang, dengan pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kesadaran masyarakat meningkat sehingga akses mereka relatif menyempit," kata Dr. Mohammad Iqbal Ahnaf dalam diskusi bedah buku berjudul The Illusion of an Islami State secara daring, Selasa.
Namun, Iqbal mengingatkan bahwa menyempitnya akses kelompok tersebut untuk memobilisasi gagasan negara Islam hanya pada ruang-ruang tertentu.
Artinya, kata dia, masih banyak ruang yang mereka gunakan leluasa untuk mobilisasi dan propaganda gagasan negara Islam, terutama di medsos.
Baca juga: Wapres: Konservatisme buat negara berpenduduk Islam sulit berkembang
"Mereka tidak menggunakan istilah khilafah, Hizbut Tahrir. Bahkan, bendera HTI pun tidak dipakai. Mereka menggunakan istilah-istilah yang ramah dengan khalayak muslim, seperti 'Yuk Ngaji', 'Ngaji Keren', dan sebagainya," katanya.
Menurut dia, model kamuflase dalam bahasa atau istilah lain yang lebih mudah diterima itu pasti digunakan sehingga harus diwaspadai.
Sebenarnya, kata dia, misi utama Hizbut Tahrir adalah mendeligitimasi tatanan politik yang ada dengan mengeksploitasi krisis yang dimaknai sebagai kegagalan sistem pemerintahan yang ada.
Bahkan, kata dia, upaya penanganan COVID-19, kemiskinan, hingga persoalan sepele pun bisa dieksploitasi sebagai kegagalan sistem yang pada akhirnya ditawarkan solusinya dengan konsep negara Islam.
Sementara itu, pengamat terorisme Universitas Muhammadiyah Jakarta Debbie Affianty menyoroti maraknya pelibatan keluarga, terutama perempuan dan anak-anak, dalam aksi terorisme beberapa waktu belakangan.
Menurut dia, pelibatan keluarga itu dalam aksi terorisme relatif mudah dilakukan dengan memanfaatkan kepatuhan anak terhadap orang tua dan loyalitas istri terhadap suami.
"Apakah akan berhenti sampai di situ? Makin diekspose maka yang lain akan makin terinspirasi," katanya.
Baca juga: PUI tegaskan sudah final soal dasar negara Indonesia
Denbie juga sepakat bahwa medsos menjadi ruang yang terbuka bagi kelompok-kelompok yang ingin memobilisasi gagasan negara Islam, termasuk gerakan-gerakan terorisme.
Dalam diskusi daring itu, hadir pula Nur Dhania, korban propaganda ISIS yang menceritakan awal mula tertarik dengan gerakan radikal itu dari situs jejaring sosial atau medsos.
Apalagi, Dhania mengakui ketika itu masih berusia 15—16 tahun yang sedang labil-labilnya, penuh semangat, dan emosi karena dalam masa pencarian jatidiri, kemudian banyak mencari tahu melalui medsos.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020