Ketua Bawaslu, Nur Hidayat Sarbini, dalam konferensi pers di Gedung KPU, Jakarta, Sabtu, mengatakan masalah yang muncul terutama disebabkan oleh persiapan KPU yang kurang memadai dalam merencanakan, mengelola, dan mengawasi proses pelaksanaan pendaftaran pemilh.
"KPU telah gagal mengelola terhadap persoalan-persoalan pendaftaran pemilih," ujar Hidayat.
Berdasarkan pengawasan Bawaslu, ia mengungkapkan, dalam mengelola DPT KPU tidak menentukan standard politik atau "positioning paper" sebagai pedoman kebijakan sehingga KPU akhirnya melakukan perubahan DPT Pilpres di luar jadwal yang telah ditentukan.
"Sehingga akhirnya ini berimplikasi serius berupa tidak sempurnanya kerja KPU yang telah menyebabkan munculnya beberapa versi DPT yang menyebabkan kebingungan peserta maupun jajaran di bawah," tutur Nur Hidayat.
Terkait dengan perubahan DPT terakhir yang dilakukan KPU satu hari menjelang pemungutan suara pada 7 Juli 2009, Nur Hidayat menegaskan, hanya enam petugas pengawas dari 471 panwas di setiap jenjang di 33 provinsi yang ternyata merekomendasikan perubahan DPT kepada KPU setempat.
"Kesannya, perubahan DPT karena kebijakan Panwaslu maupun Bawaslu, itu tidak benar," ujarnya.
Menurut UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, Nur Hidayat menuturkan, pengawas Pemilu di semua tingkatan tidak diperkenankan merekomendasikan perubahan DPT.
Untuk itu, Bawaslu akan menyelidiki enam panwas yang merekomendasikan perubahan DPT itu dan akan dikenakan tindakan indisipliner.
"Untuk panwas yang melakukan itu, penyelidikan internal sedang diproses dan akan dikenakan tindakan indisipliner untuk rekomendasi itu," ujar Nur Hidayat.
Sementara itu, anggota Bawaslu, Bambang Eka Cahya Widodo mengatakan payung hukum KPU untuk melakukan perubahan DPT pada 7 Juli 2009 tidak cukup hanya berupa rekomendasi panwas di sepuluh provinsi.
Hak memilih warga, lanjut dia, memang harus dihormati, namun caranya harus melalui prosedur sesuai hukum serta konstitusional.
Sedangkan anggota Bawaslu yang lain, Wirdyaningsih, menyatakan perubahan DPT yang dilakukan KPU pada 7 Juli 2009 berada di luar kebijakan Bawaslu karena pasal 321 UU No 42 Tahun 2008 yang dipakai KPU untuk melegitimasi perubahan DPT itu justru menutup sama sekali kemungkinan perubahan DPT.
Wirdyaningsih secara tegas menyatakan perbuatan KPU mengubah DPT pada 7 Juli 2009 jelas cacat hukum.
"Jelas cacat hukum karena tanpa payung hukum," ujarnya.(*)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009