Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKS Sukamta meminta pemerintah meningkatkan keamanan siber perangkat elektronik yang digunakan para diplomat di luar negeri karena dikhawatirkan akan memperlemah diplomasi Indonesia dengan negara-negara lain.

"Saat ini serangan siber menjadi ancaman yang semakin nyata, meskipun tidak berbentuk secara fisik tetapi bisa menghadirkan gangguan politik yang serius. Jangan sampai perundingan atau kebijakan kita bocor karena jalur yang kita miliki tidak aman," kata Sukamta dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

Hal ini dikatakan Sukamta terkait dengan pemberitaan adanya dugaan peretasan komputer milik seorang diplomat Indonesia di Canberra, Australia yang pada 3 Januari 2020 terdeteksi melakukan serangan berupa surat elektronik atau email berisi program jahat Aria-body ke kantor pemerintahan Australia.

Baca juga: Indonesia waspadai ancaman senjata biologi dan siber selama pandemi
Baca juga: Kominfo koordinasi dengan BSSN untuk kebocoran data Tokopedia

Sukamta mengatakan, kalau keamanan siber para diplomat Indonesia lemah, negara lain akan enggan berkomunikasi dengan kita dalam isu-isu yang sensitif.

Menurut dia, kalau bahan-bahan diplomasi bocor karena email atau perangkat komunikasi berhasil dibobol, isinya bisa diketahui negara lain, jelas ini akan memperlemah diplomasi kita karena akan mudah diantisipasi negara lain.

"Kondisi ini akan sangat merugikan peran-peran diplomatik yang dilakukan Indonesia. Kami harap pihak Kemenlu perlu meningkatkan kewaspadaan soal ini dan bisa membuat protokol keamanan siber untuk para diplomat kita," ujarnya.

Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI itu menjelaskan bahwa isu keamanan siber sudah sering diingatkan kepada pemerintah termasuk dalam hal ini Indonesia memerlukan segera payung hukum terkait keamanan siber.

Dia mengatakan, dengan adanya beberapa kasus bobolnya jutaan data pengguna Tokopedia dan Bhinneka serta diretasnya perangkat komputer milik diplomat Indonesia, sudah semakin mendesak untuk bisa diwujudkan UU tentang Ketahanan dan Keamanan Siber yang pada periode lalu belum bisa diselesaikan.

"Belum adanya payung hukum ini membuat koordinasi antar sektor menjadi ruwet misalnya dalam soal peretasan komputer diplomat, siapa yang paling bertanggung jawab, apakah pihak Kemenlu, BIN atau BSSN?," katanya.

Menurut Sukamta, BIN menyatakan sudah mengetahui keberadaan Aria-Body yang digunakan kelompok Naikon yang diduga berasal dari China dalam 5 tahun terakhir, namun masih ada perangkat komputer diplomat yang berhasil diretas.

Hal itu menurut dia menunjukkan masih ada kelemahan dalam ketahanan siber Indonesia dan boleh jadi bukan karena soal kemampuan teknologi tetapi dari sisi koordinasi antar instansi sehingga menjadi penting adanya payung hukum.

Dia juga mengingatkan Pemerintah akan ancaman siber selama selama pandemi COVID-19 karena selama pandemi, orang-orang lebih banyak terkoneksi ke internet sehingga sangat rentan untuk diserang.

Termasuk dalam hal ini menurut dia, misi diplomasi akan banyak melakukan interaksi secara daring karena di berbagai negara diberlakukan karantina wilayah atau "lockdown".


Baca juga: Data pengguna Bhinneka dilaporkan dijual di dark web
Baca juga: Bukalapak bantah diretas dan data bocor

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020