Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat meminta pemerintah memperbaiki koordinasi antarkementerian/lembaga serta pemerintah daerah untuk menghilangkan hambatan birokrasi dalam setiap kebijakan.
Hambatan koordinasi itu makin tampak pada penanganan wabah COVID-19 di Tanah Air akhir-akhir ini.
"Koordinasi saya lihat memang titik lemah birokrasi kita. Upaya untuk memperbaikinya harus dimulai dari pimpinan negara, daerah, sampai pimpinan kementerian/lembaga harus punya kepemimpinan yang kuat dan efektif menerapkan koordinasi," kata Lestari yang akrab disapa Rerie dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin.
Menurut Rerie, masalah koordinasi dalam birokrasi sudah disadari sejak rezim Orde Baru. Ketika itu ada empat konsep yang akan diterapkan dalam birokrasi, yaitu koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan simplikasi. Namun, hingga Rezim Orba selesai, konsep itu tak terlaksana.
Hingga saat ini, kata Rerie, koordinasi tetap menjadi masalah kronis di tubuh birokrasi. Padahal, koordinasi yang baik dalam tubuh birokrasi sangat diperlukan.
Apalagi, pada tahun ini dan tahun-tahun mendatang, kondisi yang dihadapi Indonesia dan negara lain di dunia penuh ketidakpastian sebagai dampak pandemi COVID-19.
Baca juga: Gelombang kedua COVID-19 terjadi di kota suci Touba, Senegal
"Banyaknya tantangan yang dihadapi tentunya membutuhkan kecepatan dan ketepatan dalam bertindak sehingga kita membutuhkan koordinasi yang kuat dalam birokrasi agar mampu mengatasi persoalan yang ada," kata Rerie.
Kegagapan pemerintah pada awal wabah COVID-19 masuk ke Indonesia, kata Rerie, seharusnya menjadi pembelajaran bersama bagi setiap birokrasi di pemerintahan untuk segera diperbaiki.
Soal penanganan wabah COVID-19, Rerie mendorong pemerintah segera melakukan tes secara masif dan dalam jumlah yang memadai sehingga penanganan wabah COVID-19 bisa lebih efektif.
Tes masif dalam bentuk pengujian spesimen PCR oleh laboratorium medis Indonesia diakui Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas yang disiarkan secara langsung di YouTube Sekretariat Presiden RI, Senin (11/5), mencapai 4.000 sampai 5.000 sampel per hari. Angka itu masih jauh dari target, yakni 10.000 spesimen per hari.
Sementara itu, Worldometer mencatat per Senin (11/5) rasio tes berdasarkan jumlah tes per satu juta penduduk Indonesia adalah 579. Angka itu masih di bawah Namibia yang melakukan 607 tes per satu juta penduduk.
Di Asia, rasio tes di Indonesia masih jauh di bawah India yang mampu melakukan 1.213 tes per satu juta penduduknya. Bahkan di Asia Tenggara, rasio tes Filipina jauh lebih baik, yaitu 1.489 tes per satu juta penduduk.
Rendahnya realisasi tes, menurut Jokowi, disebabkan belum optimalnya fungsi laboratorium yang dimiliki pemerintah. Dari 104 jaringan laboratorium rujukan, hanya 53 laboratorium yang beroperasi optimal. Salah satu kendala yang dihadapi adalah kekurangan tenaga laboratorium.
Baca juga: Jepang mungkin akhiri keadaan darurat di beberapa daerah pekan ini
Baca juga: Mensesneg minta masyarakat kritis hadapi informasi saat wabah COVID-19
Kendala tersebut, menurut Rerie, harus segera diatasi dengan langkah kolaborasi dan koordinasi sejumlah institusi yang memiliki tenaga laboratorium agar bisa diperbantukan untuk menguji sampel dalam tes masif COVID-19.
"Tentu saja harus ada penyesuaian di sana-sini agar para tenaga laboratorium yang diperbantukan bisa memproses sampel dalam tes masif itu. Perlu koordinasi yang baik untuk merealisasikannya," katanya menegaskan.
Menurut legislator Partai NasDem itu, di tengah ketidakpastian dampak pandemi COVID-19, tidak ada waktu lagi bagi pemerintah untuk berdebat dengan masyarakat soal makna dari sebuah kata.
Oleh karena itu, kata Rerie, pemimpin tidak boleh lagi mengeluarkan pernyataan multitafsir yang dapat menimbulkan kegaduhan.
"Efek pandemi COVID-19 ini multidimensi, mulai dari sektor ekonomi, sosial, hingga budaya. Jadi, perlu penanganan yang komprehensif dan harus segera. Jangan malah kita gaduh meluruskan pernyataan para pejabat," kata Rerie.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020