Jakarta (ANTARA) - Dosen Ekonomi Islam Universitas Padjadjaran Ikram Nur Muharam menilai industri wisata halal akan lebih menyasar pada pasar atau konsumen yang lebih universal, atau tidak hanya eksklusif pada wisatawan muslim saja.
Menurut Ikram yang juga tengah menempuh pendidikan doktor di University of Surrey, UK, bidang "hospitality and tourism management", setelah momen pandemi COVID-19 usai, banyak hal yang akan berubah pada industri wisata halal itu sendiri, yakni melalui konsep halal travel 2.0.
"Yang mungkin berubah adalah lewat halal travel 2.0, bahwa sekarang sudah waktunya penggunaan teknologi. Wisata halal tidak lagi meraba market, tetapi gimana caranya memberi layanan pirma sehingga tidak lagi eksklusif untuk muslim saja, tapi universal," kata Ikram melalui diskusi daring di Jakarta, Sabtu.
Ikram menjelaskan bahwa untuk mendukung industri wisata halal yang universal, tentunya diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak.
Baca juga: Bangka Belitung menuju destinasi wisata halal dunia
Kemudian, penggunaan teknologi seperti artificial intellegence, virtual reality hingga penggunaan robot menjadi diutamakan agar wisata halal dapat lebih inovatif
Menurut Ikram, salah satu optimalisasi teknologi melalui robot dapat lebih menguntungkan industri wisata halal, baik itu di restoran, hotel hingga layanan jasa lainnya.
"Mungkin menguntungkan bagi halal tourism, karena robot ini gendernya netral, sedangkan soal gender di halal tourism menjadi isu karena umumnya konsumen harus dilayani dengan yang sesama mahramnya. Sementara robot ini tidak ada gendernya," kata Ikram.
Baca juga: Wapres minta PHRI dukung layanan halal di berbagai destinasi wisata
Ia menambahkan bahwa label halal nantinya juga tidak terbatas pada konsumen muslim saja, tetapi juga nonmuslim. Contohnya saja label halal pada daging, menandakan bahwa daging tersebut tidak hanya memenuhi standar pemotongan yang sesuai syariat Islam, tetapi juga berkualitas segar.
Dalam riset yang ia paparkan, jumlah wisatawan muslim yang melakukan perjalanan pada 2020 ini mencapai 160 juta orang dengan pendapatan hingga 220 miliar dolar AS.
Namun akibat pandemi COVID-19 ini, dalam triwulan-I 2020 sudah terdapat potensi jumlah pengunjung dan pendapatan yang hilang mencapai 25 persen.
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2020