Kandahar, Afghanistan (ANTARA News/AFP) - Sebuah jet tempur Inggris jatuh di Afghanistan, Senin, mencederai dua pilotnya, dan itu merupakan pesawat keempat Barat yang jatuh di negara yang dilanda perang itu dalam waktu sepekan.
Kecelakaan itu dan pembunuhan seorang prajurit Inggris dalam serangan bom yang menambah jumlah korban tewas menjadi 17 pada bulan ini diperkirakan akan menyulut debat politik baru di London menyangkut peranan Inggris dalam konflik Afghanistan.
Jumlah kematian prajurit Barat mencapai tingkat tertinggi di Afghanistan ketika sejumlah pemerintah asing berusaha mengirim pasukan tambahan ke negara itu dengan harapan meredakan pemberontakan Taliban yang semakin keras menjelang pemilihan umum 20 Agustus.
Beberapa pejabat pemerintah setempat mengatakan, Senin, serangan-serangan terpisah menewaskan 12 warga sipil, sementara pangkalan udara Kandahar di Afghanistan selatan melaporkan kecelakaan penerbangan kedua dalam dua hari ini.
Mohammad Aslam Yar, seorang jurubicara pangkalan itu, mengatakan, sebuah jet tempur Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) pimpinan NATO jatuh pada Senin pagi di lapangan terbang itu, yang merupakan pangkalan militer terbesar di wilayah selatan.
"Ada dua pilot yang meloncat dan dibawa ke sebuah rumah sakit militer di pangkalan itu untuk dirawat. Selain mereka, tidak ada korban lain. Tidak ada tembakan musuh yang terlibat," kata Yar kepada AFP.
Seorang jurubicara kementerian pertahanan di London mengatakan kepada AFP, jet itu adalah sebuah Tornado GR4 Angkatan Udara Kerajaan Inggris, namun ia mengesampingkan kegiatan gerilyawan sebagai penyebab jatuhnya pesawat tersebut. Itu merupakan pesawat keempat Barat yang jatuh di negara itu dalam waktu sepekan.
Minggu, sebuah helikopter yang disewa sipil jatuh ketika sedang lepas landas di pangkalan udara Kandahar, menewaskan 16 orang sipil. Sabtu, dua orang awak AS tewas ketika jet mereka jatuh di provinsi Ghazni di Afghanistan tenggara, yang merupakan daerah bergolak Taliban.
Para pejabat membantah bahwa jatuhnya pesawat-pesawat itu disebabkan oleh tembakan musuh meski Taliban mengklaim bertanggung jawab atas jatuhnya sebuah helikopter yang menewaskan tujuh orang pada Selasa lalu di provinsi Helmand, Afghanistan selatan.
Meningkatnya gelombang kekerasan yang terkait dengan Taliban akhir-akhir ini menyoroti ancaman terhadap keamanan Afghanistan ketika negara itu bersiap-siap melaksanakan pemilihan presiden yang baru kedua kali dilakukan pada 20 Agustus.
Ribuan marinir AS dan prajurit Inggris yang didukung oleh pasukan keamanan Afghanistan bergerak memasuki sejumlah daerah Taliban yang paling berbahaya dalam operasi besar-besaran untuk menumpas pemberontakan mereka.
Terdapat sekitar 90.000 prajurit internasional, terutama dari AS, Inggris dan Kanada, yang ditempatkan di Afghanistan untuk membantu pemerintah Presiden Hamid Karzai mengatasi pemberontakan yang dikobarkan sisa-sisa Taliban.
Taliban, yang memerintah Afghanistan sejak 1996, mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara itu oleh invasi pimpinan AS pada 2001 karena menolak menyerahkan pemimpin Al-Qaeda Osama bin Laden, yang dituduh bertanggung jawab atas serangan di wilayah Amerika yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001.
Gerilyawan Taliban sangat bergantung pada penggunaan bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing yang ditempatkan di negara tersebut.
Bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80 persen korban di pihak pasukan asing di Afghanistan, menurut militer.
Antara 8.000 dan 10.000 prajurit internasional akan bergabung dengan pasukan militer pimpinan NATO yang mencakup sekitar 60.000 personel di Afghanistan untuk mengamankan pemilihan presiden Afghanistan pada 20 Agustus, kata aliansi itu.
Pemberontakan meningkat dalam beberapa pekan terakhir ini, yang menambah kekhawatiran mengenai keamanan dalam pemilihan presiden Afghanistan yang kedua itu.
Pemilu yang akan menetapkan presiden dan dewan provinsi itu dipandang sebagai ujian bagi upaya internasional untuk membantu menciptakan demokrasi di Afghanistan, namun pemungutan suara tersebut dilakukan ketika kekerasan yang dipimpin Taliban mencapai tingkat tertinggi.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009