Jakarta (ANTARA News) - Ledakan bom yang mengguncang Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat pagi tidak hanya menghancurkan ke dua hotel tersebut dan citra Indonesia di mata dunia, tetapi juga membawa luka mendalam bagi korban maupun keluarganya.
Seperti yang dirasakan Yaya (33) istri Supervisor Satuan Pengamanan (Satpam) Hotel JW Marriot, Didik Achmad Taufik (39) yang menjadi korban ledakan bom di hotel tersebut.
Yaya menuturkan, saat mendengar suaminya menjadi korban ledakan bom, dia sedang menyusui anaknya Keisya Nailah yang baru berusia 1,3 tahun.
"Begitu mendengar ada bom di hotel JW Marriott kaki saya langsung lemas seperti tidak menginjak bumi lagi," kata Yaya.
Namun beruntung, tidak lama kemudian pikiran normalnya kembali jalan, karena yang memberi kabar tentang bom tersebut adalah suaminya.
"Kalau suami saya masih bisa menelepon, kondisinya tidak terlalu parah," kata dia.
Kendati pada saat menelepon, kata dia, suaminya hanya mengatakan bahwa dia menjadi salah satu korban ledakan bom di tempat dia bekerja.
"Ma, saya menjadi korban ledakan bom, lihat di televisi," kata suaminya kemudian telepon terputus dan tidak bisa dihubungi.
Sementara, Didik mengaku seakan di bawah alam sadar saat mendengar ledakan bom di hotel yang dia jaga setiap hari.
"Suara ledakan itu begitu keras, tapi saya tidak sadar kalau itu bom, tahu-tahu saya sudah berada di reruntuhan plafon," kata dia.
Bahkan karena panik, Didik mengaku tidak mengetahui lagi ke mana harus lari, karena seluruh jalan terasa buntu dan tertutup.
Beruntung, kata Didik dalam kondisi panik ada seorang rekan yang berlari-lari, kemudian diikuti dari belakang, hingga akhirnya dia berhasil selamat dan dirawat di RS Jakarta.
Bapak dari dua anak yaitu Rafi Ansyah (7) dan Keisya Nailah itu mengaku tidak mendapatkan firasat apa-apa sebelum terjadinya ledakan.
"Ndak tahu juga, kenapa saya tidak mendapatkan firasat apa-apa, padahal saya sempat berbicara dengan orang yang diduga sebagai tersangka peledakan bom," kata dia.
Ditemui di RS Jakarta, Sabtu, Didik yang menderita luka di bawah telinga, kaki, tangan dan muka tersebut mengaku sempat menegur tersangka peledakan bom beberapa menit sebelum tempatnya bekerja diledakkan.
Didampingi istrinya, Didik mengungkapkan sekitar pukul 07:30 WIB atau beberapa menit sebelum terdengar suara ledakan dia menegur seseorang yang membawa traveller bag sedang berjalan menuju lounge hotel.
Melihat tamu yang tampak kebingungan dan menghampiri dirinya, Didik yang baru memulai shift paginya itu menanyakan sesuatu kepada pria dengan jaket hitam dan bertopi tersebut.
"Apakah ada yang bisa saya bantu," kata Didik, yang kemudian dijawab oleh pria berkulit sawo matang tersebut, "Saya mau ketemu bos saya".
Kemudian Didik melanjutkan pertanyaannya, "Siapa bosnya dan di mana," kemudian dijawab, "Ini saya mau mengantar pesanan bos saya".
Selanjutnya, karena tamu tersebut mau mengantar pesanan, kata Didik yang tampak masih lemah terbaring di ruang Krisan kamar 351 lantai III RS Jakarta, tidak berani bertanya lebih lanjut.
Sesuai prosedur pelayanan hotel, Didik minta seorang temannya bernama Dadang untuk mengantar tamu tersebut ke tempat bosnya.
Sebelum mengantar, kata dia, Dadang sempat menanyakan kepadanya siapa tamu tersebut dan diantar ke mana. Setelah itu ketiganya berpisah. Kemudian Didik pergi mengontrol ke lokasi lain.
"Kasihan Dadang, sekarang dia menderita luka parah," kata Didik soal Dadang yang mengalami luka agak parah dibanding beberapa rekannya.
Didik mengatakan ciri-ciri fisik yang diduga pelaku adalah berkulit sawo matang, tinggi sekitar 172 sentimeter dan umur sekitar 25-28 tahun.
Shock
Sementara itu, Bambang Trianto (30) mengaku masih shock berat dengan terjadinya bom yang kedua kalinya mengguncang JW Merriott.
Kendati dalam peristiwa ini dia tidak mengalami luka-luka, tetapi pemuda tersebut mengaku mengalami shock berat karena luka fisik yang dialami pada ledakan bom beberapa tahun lalu masih terlihat nyata.
Bambang merupakan saksi hidup terjadinya dua ledakan bom di hotel yang sebagian besar tamunya adalah warga negara asing (WNA).
Menurut petugas satpam Marriott itu, bagitu ledakan terjadi dia merasa limbung seperti tidak ingin mempercayai bila peristiwa yang membuat kedua tanggannya cacat itu kembali terjadi.
"Trauma terjadinya bom pertama masih sering membuat saya sering terkejut, dan kini peristiwa mengerikan itu kembali terjadi," kata kata Bambang sambil menunjukkan bekas luka bakar pada kedua tangannya tersebut.
Perasaan trauma hebat juga dirasakan oleh Andri Tirta Marsidi (23) warga Jl Cendrawasih Komplek P&K yang juga bekerja di Marriot sejak tiga tahun lalu.
Andri selain mengalami luka di kepala belakang, kaki dan tangan juga hampir kehilangan pendengaran. "Mohon maaf saya kurang bisa mendengar pertanyaan anda,` kata pemuda itu.
Namun demikian, dengan komunikasi satu arah, Andri berusaha menjelaskan dan mengingat peristiwa mengerikan yang akhirnya membawanya tergeletak di ruang Yasmin RS Jakarta.
Menurut dia, beberapa menit sebelum terjadi ledakan, dia juga sempat melihat seseorang yang membawa tas mondar-mandir di lobi hotel.
Ternyata lelaki tersebut, disebutkan polisi sebagai tersangka dalam bom bunuh diri yang menewaskan sejumlah orang.
"Saya sempat melihat orang yang disebut-sebut sebagai tersangka itu beberapa saat sebelum bom meledak," kata dia.
Sayang, karena kondisi kesehatannya yang cukup parah dan sedang dalam proses pemulihan pendengaran tim dokter melarang wartawan untuk melanjutkan wawancara.
Cerita tidak kalah sedih datang dari keluarga Evret yang diduga juga menjadi korban tewas dalam ledakan bom bunuh diri itu.
Evret (37) yang bekerja sebagai karyawan restoran dimana bom tersebut diledakkan hingga kini belum bisa dipastikan nasibnya, kendati telah ditemukan mayat dengan ciri-ciri seperti Evret yang baru mendapatkan anak keduanya.
Sebelum peristiwa mengerikan itu terjadi, Evret tengah menunggu detik-detik kelahiran anak keduanya.
"Saya berharap itu bukan mayat Evret, kendati ciri-cirinya mirip dengan dia," kata Edi keluarga Evret.
Menurut dia, Sabtu pagi, Ratna istri Evret telah melahirkan anak keduanya, bila benar Evret telah meninggal, berarti anak tersebut tidak akan pernah bisa menyaksikan bapaknya.
"Istri Evret tidak bisa ikut melakukan pencarian karena baru saja melahirkan," kata Edi. (*)
Oleh Oleh Ulul Maskuriah
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009