"Ayah sakit ya? Cepat sembuh ya ayah," kata Kanzah berulang-ulang dari balik kaca.
Kanzah dan Agung melihat ayahnya terbaring dengan kepala dan sekujur wajahnya dibalut akibat luka bakar ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton, Jumat pagi.
Dadang adalah satu dari puluhan korban luka yang masih mendapat perawatan intensif di rumah sakit Metropolitan Medical Center (MMC), Rumah Sakit Jakarta dan Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta.
Dadang awalnya dirawat di MMC namun dirujuk ke RSPP dan mendapat perawatan intensif di ruang ICU luka bakar lantai II RSPP. Saat bom meledak, Dadang sedang berada di dalam gedung dan tidak jauh dari titik ledakan.
Sejumlah keluarga dekat Dadang, berbondong ke RSPP untuk melihat kondisi korban ledakan bom yang bikin geger itu. Ruang tunggu ICU luka bakar RSSP ramai dengan keluarga dan teman sejawat Dadang yang bekerja di JW Marriott.
Dadang memegang peranan penting di JW Marriot sebagai Banquet Supervisor. Salah satu tugasnya adalah menghandel jika ada kegiatan pernikahan atau pun meeting di JW Marriott.
"Saya tahu peristiwa itu sekitar jam delapan pagi setelah dapat telepon dari adik ipar. Saya kaget. Dua nomor handphone suami saya tidak ada yang aktif," kata Dwi Susanti (31), istri korban.
Menurut Dwi, hampir sekujur tubuh suaminya terkena luka bakar. Namun paling banyak di bagian wajahnya hingga menyebabkan matanya seperti habis terkena pukulan keras. Di bagian tubuh lainnya mengalami luka bintik.
"Lukanya bintik-bintik seperti terkena serpihan api," ujarnya.
Hingga Jumat siang pihak keluarga belum mendapat hasil rontgen dari RSPP. Dwi berharap, pihak manajemen hotel menanggung semua biaya pengobatan suaminya. Apalagi korban dirawat di rumah sakit yang biayanya cukup mahal.
Peristiwa bom di kawasan Mega Kuningan yang menewaskan sembilan orang itu, mengingatkan Dwi pada 5 Agustus 2003. Saat itu JW Marriott juga diguncang bom bunuh diri dari sebuah mobil. Saat ledakan itu, Dadang lolos dari maut yang menewaskan 12 orang dan mencederai 150 orang tersebut.
"Waktu itu suami saya sedang pergi ambil air wudhu mau shalat Dzuhur sehingga ia selamat," katanya.
Mata Dwi tampak bengkak dan merah akibat menangis. Ia mengaku gundah setelah mendengar suaminya terluka. Sementara dua anaknya, Kanzah dan Rizki Agung, tampak bermain bersama sepupunya yang lain. Kanzah sebagai anak tertua sudah mengerti kalau ayahnya sedang sakit akibat ledakan bom. Tetapi Rizki yang bicaranya belum jelas itu, tampaknya tidak mengerti apa-apa.
"Rizki hanya diam waktu liat bapaknya dibalut. Kalau Kanzah sudah mengerti jika ayahnya sakit," cerita Dwi.
Dadang sudah meninggalkan rumahnya di Sentul Bogor menuju JW Marriott sekitar pukul 04.00 WIB. Istrinya, tidak berfirasat apa-apa terhadap suaminya itu. Ia kaget setelah mendapat telepon dari adik iparnya, yang juga kerja di JW Marriott.
Meskipun dalam kondisi yang memprihatinkan, namun Dadang, kata Dwi, masih sadarkan diri dan masih bisa berkomunikasi. Menurut Dwi, suaminya sempat melihat seseorang masuk ke restoran di Marriot dengan membawa koper dan tas. Orang itu katanya memaksakan diri masuk dengan alasan ingin ketemu bos.
"Tidak lama dari situ terjadilah ledakan," kata Dwi menirukan cerita suaminya.
Menurut Dwi, saat ia bicara dengan suaminya dia harus bicara keras karena kuping Dadang masih berdengung yang diduga akibat kerasnya ledakan.
Ipit Siti Maimunah, ibu Dadang, siang itu harus dibopong untuk menaiki tangga lift RSPP. Ia cemas karena belum melihat kondisi anaknya yang tengah terbaring di ruang ICU. Ibu sembilan anak itu kembali tegar setelah melihat kondisi anaknya yang masih sadarkan diri meskipun mendapat perawatan intensif dari tenaga medis.
"Alhamdullillah masih bisa selamat," kata Siti.
Dadang adalah anak kedua dari sembilan bersaudara. Sebagian besar keluarganya bekerja di hotel. Adiknya, Dedy Setiawan, kini bekerja di Amerika Serikat sebagai Manager Training di Grand Hyat. Beberapa saudaranya yang lain juga bekerja di hotel di Jakarta.
"Tadi Dedy juga sudah menelpon ke sini (keluarga, red) menanyakan kondisi kakaknya," kata Siti. (*)
Oleh Oleh Adha Nadjemuddin
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009