Jakarta (ANTARA) - Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan jika bekerja sama dengan pihak luar dalam pengembangan vaksin COVID-19, Indonesia tidak ingin hanya menjadi tempat uji klinis.
"Sudah ada beberapa pihak dari luar yang ingin bersama-sama mengembangkan vaksin yang ada sudah menawarkan untuk uji klinis misalkan, namun tentunya kita tidak ingin hanya sekedar menjadi tempat uji klinis, tapi kita sedang bernegosiasi agar para peneliti kita itu juga mempunyai kapasitas untuk bisa melahirkan prototipe dari vaksinnya terutama protototipe yang menggunakan virus yang beredar di Indonesia," kata Menristek Bambang dalam konferensi video di Jakarta, Jumat.
Menristek Bambang mengatakan Indonesia harus terlibat dalam pengembangan vaksin COVID-19 jika bekerja sama dengan pihak luar.
Baca juga: Kemristek loloskan 17 ide dan inovasi anak bangsa tangani COVID-19
Menurut Bambang, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang menjadi koordinator dalam pengembangan vaksin di Indonesia telah mendapat sejumlah tawaran kerja sama dari produsen vaksin luar negeri. Produsen tersebut mengklaim mereka sudah di tahap uji klinis.
"Tapi kan tentunya pertama kita juga harus punya kemampuan untuk belajar membuat vaksin paling tidak sampai prototipenya yang kemudian nanti diproduksi. Kita masih meminta kalau mereka mau 'clinical trial' (uji klinis) di Indonesia, kita ingin pengembangannya bersama," ujarnya.
Menristek Bambang menuturkan jika ada suatu negara yang berhasil menemukan vaksin sebelum Indonesia menciptakan vaksinnya sendiri, yang paling penting adalah Indonesia tidak semata-mata menjadi pembeli vaksin itu, tapi vaksin itu harus bisa diproduksi Indonesia melalui PT Biofarma, sehingga tidak menyebabkan ketergantungan pada pihak luar dalam memperbanyak vaksin sesuai kebutuhan dalam negeri.
Baca juga: Kemristek berupaya pemanfaatan ozon chamber sterilkan APD habis pakai
Baca juga: Menristek: Pengembangan vaksin corona minimal satu tahun
"Strategi terbaik adalah kalau vaksin itu sudah ditemukan ya mau tidak mau kita harus membeli vaksin yang siap diproduksi, tapi produksinya harus bisa dilakukan di Indonesia supaya kita bebas, kita mau produksi berapa sesuai dengan kebutuhan kita, tapi jangan sampai kita 'membeli begitu saja begitu saja'. Karena 'membeli begitu saja' riskan, kita mungkin tidak bisa mendapatkan apa yang kita butuhkan," tuturnya.
Menristek Bambang mengatakan kemungkinan paling cepat pengembangan vaksin dalam jangka waktu satu tahun. Tahapan yang kemungkinan besar membutuhkan waktu yang lama adalah pengujian efektivitas dan keamanan vaksin sampai dinyatakan vaksin tersebut aman bagi orang dan efektif menangkal COVID-19.
"Yang susah itu adalah ketika sudah masuk justru fase 'clinical trial' (uji klinis), karena karakter manusianya, karakter virusnya itu yang membuat waktu dari uji klinisnya menjadi tidak pasti, bisa mungkin cepat sekali,tapi bisa juga panjang sekali bisa sampai tahunan," tuturnya.
Baca juga: Menristek harap kemudahan izin edar alkes lokal penanganan COVID-19
Baca juga: Menristek harapkan relaksasi untuk pengujian alkes penanganan COVID-19
Sebenarnya, kata Bambang, masalah besar dalam pengembangan vaksin lebih kepada tahapan pengujian kandidat vaksin di hewan, lalu dilanjutkan pengujian pada manusia, sampai pengujian itu membuahkan hasil yang memuaskan.
Sambil menunggu vaksin dikembangkan, dia berharap ditemukannya obat-obatan yang cocok untuk mengurangi beban penderita COVID-19 di Indonesia. Obat-obat itu tidak harus bersifat penemuan baru, tapi bisa memanfaatkan obat yang sudah ada dan yang sudah diujicobakan di berbagai negara dan efektif membantu mengurangi derita pasien COVID-19.
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020