... mirisnya lagi ABK bisa tidak dibayar gajinya sampai kontrak kerja selesai dan kembali ke Indonesia. Kita sering menyebut mereka pahlawan devisa, harus dimaksimalkan pelayanan dan perlindungannya...
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKS, Sukamta, meminta pemerintah harus menginvestigasi secara menyeluruh atas kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM atas kematian Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia yang meninggal di kapal China dan jenazahnya dilarung ke laut.
"Meski sudah ada penjelasan dari KBRI di Beijing bahwa pihak perusahaan katanya ikuti standar praktik kelautan internasional saat melarung tiga WNI yang meninggal, pemerintah harus melakukan investigasi secara menyeluruh terhadap masalah ini. Indonesia sebagai negara yang berdaulat harus melindungi WNI di manapun berada," kata Sukamta, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Susi Pudjiastuti cemaskan ratusan ribu ABK Indonesia jadi budak
Cuplikan adegan-adegan pelarungan ketiga WNI itu ramai dibahas di dunia maya; bermula dari reportase tentang hal itu oleh salah satu stasiun televisi Korea Selatan. Di sela pemberitaan dalam bahasa Korea itu, dicuplik juga sekelumit percakapan dengan seseorang secara jarak jauh yang menggunakan bahasa Indonesia.
Sukamta menilai perlu dipastikan apa yang sesungguhnya terjadi, jika nanti terbukti ada unsur pelanggaran HAM terhadap para ABK dengan dieskploitasi hingga menyebabkan kematian, pemerintah harus bersikap tegas dengan melayangkan nota protes kepada pemerintah China dan melakukan tuntutan hukum terhadap perusahaan kapal itu.
Baca juga: Atase Ketenagakerjaan KBRI Doha pulangkan ABK Indonesia telantar
Menurut Sukamta, kabar soal eksploitasi TKI yang bekerja sebagai ABK di kapal-kapal asing sudah beberapa kali terdenga, Misalnya dalam kejadian itu, info yang didapat menyatakan para ABK asal Indonesia itu bekerja 18 jam sehari, bekerja selama sekitar 12 bulan hanya mendapatkan gaji cuma sekitar Rp1,7 juta setiap bulan.
"Parahnya ketika meninggal, mayat ABK itu dibuang ke laut, dan boleh jadi kejadian ini telah berulang kali terjadi. Pemerintah dalam hal ini harus memperketat penempatan TKI di tempat bekerja mereka di luar negeri dan harus dipastikan mereka berada di perusahaan yang punya reputasi baik," ujarnya.
Baca juga: Tujuh pelaut Indonesia berharap segera dipulangkan
Wakil ketua Fraksi PKS DPR itu mengatakan kalau dirinci masalah ABK yang bekerja di kapal asing, banyak terjadi persoalan misanya sejak proses perekrutan awal sering tidak jelas mulai, dari masalah kontrak kerja tidak jelas atau sepihak dengan perusahaan di Indonesia yang menjadi agen tenaga kerja.
Agen itu, menurut dia, ternyata merupakan sub-agen dari agen penyedia tenaga kerja di luar negeri dan seringkali untuk berangkat, calon ABK malah harus membayar terlebih dahulu atau jika tidak ada deposit akan bekerja 3-4 bulan tanpa diberi bayaran.
Baca juga: Jenazah ABK Indonesia akhirnya bisa dipulangkan ke Cilacap
"Lebih mirisnya lagi ABK bisa tidak dibayar gajinya sampai kontrak kerja selesai dan kembali ke Indonesia. Kita sering menyebut mereka pahlawan devisa, harus dimaksimalkan pelayanan dan perlindungannya," katanya.
Ketua DPP PKS itu menilai masalah tersebut harus menjadi perhatian serius pemerintah, misalnya implementasi UU Nomor 18/2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Peraturan Pemerintah Nomor 10/2020 Tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia Oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia harus dikawal secara ketat agar kejadian-kejadian seperti ini tidak terus berulang.
Baca juga: Kasus penggunaan KTP Indonesia oleh ABK asing dikembangkan
"Apalagi Indonesia telah meratifikasi Maritime Labour Convention 2006 (MLC 2006) pada 6 Oktober 2016 melalui UU Nomor 15/2016 tentang Pengesahan Maritime Labour Convention," ujarnya.
Sukamta juga meminta pemerintah memastikan hak-hak TKI khususnya dalam kasus meninggalnya tiga ABK WNI ini dapat tertunaikan dengan baik misalnya gaji, pesangon dan juga asuransi dari pihak perusahaan.
Baca juga: Pemerintah diminta bantu tujuh pelaut Indonesia bermasalah di Shanghai
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020