Jakarta (ANTARA) - Gempa di Laut Banda dengan magnitudo 7,3 yang kemudian dimutakhirkan menjadi magnitudo 6,9 pada Rabu (6/5) malam tidak menimbulkan tsunami, namun menunjukkan gempa terjadi di "sarang" gempa kuat.

"Lokasi hiposenter Gempa Banda tadi malam berada di kawasan yang menurut catatan sejarah gempa merupakan 'sarang' gempa kuat di Zona Subduksi Banda," kata Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Daryono dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Dia mengatakan berdasarkan catatan gempa dahsyat di lokasi tersebut sudah terjadi beberapa kali, yaitu Gempa Banda 1918 dan 1950 dengan magnitudo 8,1, pada 1963 magnitudo 8,2 dan terakhir 2019 magnitudo 7,7. Beberapa gempa kuat ini dirasakan guncangannya hingga Benua Australia.

Baca juga: BMKG mutakhirkan gempa Laut Banda jadi magnitudo 6,9

Pada kejadian gempa Rabu (6/5) malam pukul 20.53 WIB, pada awalnya BMKG menginformasikan gempa dengan magnitudo 7,3 sebagai informasi cepat. Magnitudo informasi cepat ini diolah menggunakan jumlah data yang terbatas dalam waktu yang sangat singkat kurang dari lima menit.

Dengan jumlah data yang terbatas tersebut, memungkinkan secara statistik menghasilkan magnitudo gempa yang lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah data yang lebih banyak.

Untuk mendapatkan magnitudo gempa yang akurat, selanjutnya para analis gempa di BMKG kembali mengolah data sebanyak-banyaknya hingga memperoleh magnitudo update yang stabil, yaitu magnitudo 6,9.

Proses updating atau pemutakhiran magnitudo gempa semacam ini adalah hal biasa dan lazim dilakukan oleh lembaga monitoring gempa bumi di manapun juga.

Baca juga: Gempa magnitudo 7,3 terjadi di Laut Banda

Baca juga: Aktivitas sesar lokal sebabkan gempa di wilayah Laut Banda

"BMKG harus cepat memberikan informasi parameter gempa, karena selain bertugas memberikan informasi gempa, BMKG juga bertanggung jawab memberikan peringatan dini tsunami yang harus segera disampaikan kepada masyarakat pesisir. Banyak pantai kita lokasinya dekat dengan sumber gempa dengan ketersediaan waktu penyelamatan dari tsunami sangat singkat," kata Daryono.

Berdasarkan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa tersebut terjadi akibat adanya deformasi batuan pada bagian Lempeng Banda di Zona Benioff, sehingga Gempa Laut Banda itu hiposenternya cukup dalam. Meskipun mekanisme sumbernya sesar naik (thrust fault), tidak berpotensi tsunami.

Selain itu, gempa kuat di Laut Banda adalah gempa yang berpusat di kedalaman menengah yaitu 97 km, munculnya gempa kuat di kedalaman menengah ini sebenarnya sudah ditandai dengan munculnya aktivitas gempa-gempa kecil yang membentuk klaster pusat gempa menengah sejak April 2020.

Baca juga: Potensi energi gempa di Laut Banda masih besar

Gempa tersebut bersumber dari Banda slab (Lempeng Banda yang tersubduksi) dan tidak bersumber di Banda Detachment (bidang gelincir patahan Banda) di zona Weber Deep seperti yang disinggung beberapa warganet di media sosial.

Karena hiposenternya yang cukup dalam, gempa tersebut memiliki spektrum getaran yang dirasakan mencakup wilayah yang sangat luas. Guncangan gempa dilaporkan dirasakan hingga di Manokwari dan Waingapu.

"Peristiwa gempa kuat di Laut Banda tadi malam menjadi salah satu bukti bahwa sistem subsuksi Laut Banda memang masih sangat aktif," ujar Daryono.

Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020