Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Hasanudin (Unhas), Dr.Indah Raya di Jayapura, Rabu, mengatakan model eksploitasi alam yang diijinkan pemerintah saat ini, dimana kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak boleh dikuasai pihak swasta telah meningkatkan jumlah dan jenis bencana ekologi.
Selanjutnya dia menjelaskan, dalam kurun waktu 2006 - 2008 bencana ekologis akibat sistem pengelolaan SDA berupa banjir, tanah longsor, gagal panen, gagal tanam dan kebakaran hutan.
"Bahkan, eksploitasi alam yang tidak memperhatikan faktor lingkungan ini telah memakan korban jiwa yang tidak sedikit," tandasnya.
Dia mencontohkan fenomena lumpur Lapindo Brantas di Sidoarjo yang tidak kunjung terselesaikan baik dari segi teknis untuk menghentikan laju semburan tersebut maupun dari segi sosial budaya yang telah merugikan ribuan warga di puluhan kampung setempat.
Sedangkan dari segi ekologi, ratusan hektar sawah dan ladang ikut menjadi korban.
"Penyelesaian masalah ini belum menuai titik terang karena belum ada pihak yang bertanggung jawab penuh, apakah negara ataukah pihak Lapindo Brantas sebagai perusahaan swasta yang memiliki daerah konsesi pertambangan tersebut," jelas Indah.
Sementara itu, dampak lain yang berhubungan langsung dengan hak dasar manusia adalah hancurnya wilayah tangkapan dan sumber pemasok air bersih.
Diperkirakan lebih dari 80 persen Daerah Aliran Sungai (DAS) berada dalam kondisi kritis akibat kegiatan eksploitasi hutan maupun pertambangan mineral dan migas. Kehancuran ini akan berdampak serius pada terjadinya krisis air yang sesungguhnya di Indonesia.
Kawasan konservasi hutan Mangrove atau hutan bakau juga tidak luput dari kehancuran lingkungan berupa deforestasi sebesar 42 persen untuk taraf rusak berat dan 29 persen rusak. Diduga hanya sekitar 23 persen yang masih dalam kondisi baik dan 6 persen yang masih sangat baik.
Indah menjelaskan, privatisasi SDA tidak akan membawa keuntungan bagi negara dan rakyat. Sebaliknya, bukan hanya kerugian ekonomi yang ditimbulkan, tetapi juga kerusakan ekologi.
Oleh sebab itu, menurutnya aset negara ini harus dikembalikan kepemilikannya kepada masyarakat setempat, sementara pengelolaannya diserahkan kepada negara untuk dimanfaatkan secara optimal bagi kemakmuran seluruh rakyat.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009