"Untuk itu, masyarakat terutama para aktivis dari kelembagaan yang peduli terhadap pemberantasan korupsi, mencermati draf RUU Tipikor yang saat ini masih digodog," kata direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta ini, Minggu.
Ia mengatakan salah satu di antaranya yang perlu dikritisi adalah dihapuskannya aturan tentang kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara sebagai pidana tambahan dalam draft RUU Tipikor.
"Jika aturan itu benar-benar dihapus, akan menguntungkan para koruptor yang telah dijatuhi hukuman pidana," katanya.
Menurut dia, dengan dihapuskannya aturan tersebut koruptor tidak perlu mengembalikan uang negara yang dikorupsi, padahal denda yang dijatuhkan dan harus dibayar bisa jauh lebih kecil dibanding uang yang dikorupsi.
"Misalnya uang yang dikorupsi Rp5 miliar, tetapi hanya didenda Rp100 juta, dan tidak ada ketentuan membayar uang pengganti kerugian negara sebagai pidana tambahan, ini menguntungkan koruptor," katanya.
Ketentuan membayar uang pengganti kerugian negara sebagai pidana tambahan, sebelumnya diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal tersebut intinya menyebutkan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Irsyad mengatakan dalam pemberantasan korupsi filosofinya adalah menghukum secara pidana terhadap pelakunya agar jera, sekaligus mengembalikan uang negara yang dikorupsi. "Artinya, pelaku korupsi atau koruptor yang telah terbukti bersalah dihukum pidana dan perdata," katanya.
Oleh karena itu, menurut dia, semangat menggodog draf RUU Tipikor agar secepatnya menjadi undang-undang, jangan sampai "dititipi" kepentingan-kepentingan tersembunyi yang hanya menguntungkan orang-orang maupun kelompok-kelompok tertentu.
"Untuk itu, pemerintah dan DPR RI serta pihak-pihak terkait lainnya tetap menjaga komitmen bahwa korupsi harus diberantas hingga tuntas, karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang merugikan negara dan rakyat, bahkan menyengsarakan rakyat," kata Irsyad Thamrin.(*)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009