Jakarta (ANTARA News) - Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Bambang Eka Cahya Widodo mengeritik UU pemilu dengan UU kependudukan yang tidak sinkron terkait adanya pemberlakuan NIK (Nomor Induk Kependudukan) pada kartu tanda pengenal (KTP) sebagai syarat wajib untuk bisa memilih dalam Pilpres 8 Juli 2009.
"Tidak sinkronnya dua undang-undang itu telah mengakibatkan banyak calon pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya, " kata Bambang di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, persoalan NIK tersebut menjadi serius untuk dievaluasi karena rendahnya penggunaan KTP untuk calon pemilih yang tidak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Sebelumnya Makamah Konstitusi (MK) dalam keputusannya menyebutkan calon pemilih yang tidak terdaftar di DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP dan kartu keluarga.
Namun yang terjadi, kata Bambang, justru banyak calon pemilih tidak bisa menggunakan hak pilihnya hanya karena pada KTP mereka tidak memiliki NIK. Otomatis calon pemilih itu gagal menggunakan hak pilihnya.
"Masalah ini menjadi kasus yang menonjol dalam temuan Bawaslu pada suksesi Pilpres 2009," katanya.
Ia mengatakan, kalau mau jujur persoalan penggunaan KTP berpangkal dari ketidaksinkronan antara UU pemilu dengan UU kependudukan.
Dalam UU kependudukan disebutkan bahwa pemberian NIK pada KTP (KTP lokal bukan nasional, red) akan baru selesai pada 2011.
"Akan tetapi Pemilu berlangsung sekarang, jadi permasalahan KTP yang ada NIK itu tidak bisa diselesaikan dalam UU Pemilu," katanya.
Antara UU pemilu dan UU kependudukan jelas tidak sinkron, kata Bambang, yang salah adalah DPR dan Pemerintah karena keduanya tidak melihat lebih dulu UU kependudukan itu untuk disesuaikan dalam UU Pemilu.
Sekarang, katanya, justru NIK itu diwajibkan dan kebijakan tersebut menjadi aneh.
Namun demikian ia juga memberikan penilaian bahwa KPU dalam masalah DPT tersebut juga memiliki kontribusi kesalahan.
"Misalnya banyaknya temuan DPT dengan data ganda. Ganda namanya, tempat dan tanggal lahir serta alamat seorang calon pemilih," katanya ketika dikonfirmasikan, KPU ternyata juga mengakui kesalahan tersebut berasal dari KPU.
Ia menambahkan, masyarakat juga mempunyai kesalahan seperti adanya calon pemilih yang memiliki KTP lebih dari satu, rumah lebih dari satu seperti kontraktor, pelaut, sopir dan profesi atau warga yang termasuk memiliki mobilitas tinggi. (*)
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009