Jakarta (ANTARA) - Pandemi corona atau korona melahirkan fenomena baru yang sebelumnya belum pernah terjadi dalam peradaban manusia.
Kini muncul bilik-bilik disinfektan yang disediakan di pintu-pintu masuk kantor, seperti di tempat pelayanan masyarakat dalam pengurusan surat-surat kendaraan bermotor di Samsat. Kemudian di tempat ibadah seperti masjid, gereja, bahkan di mal, kampus, dan kompleks perumahan. Dulu bilik disinfektan hanya dipasang di pintu masuk kawasan peternakan, rumah kaca pertanian, dan laboratorium yang butuh lingkungan steril.
Persoalan kemudian muncul karena disinfektan yang disemprotkan pada bilik disinfektan kebanyakan hasil racikan sendiri seperti campuran cairan pemutih yang diencerkan atau ditambah air sesuai kebutuhan. Contoh cairan disinfektan yang direkomendasikan pemerintah kepada masyarakat misalnya dua sendok makan pemutih aneka produk dengan satu liter air. Ada juga dua sendok makan karbol aneka merk dengan satu liter air. Banyak sekali pilihan komposisi aneka produk ditambah air yang ditawarkan kepada masyarakat untuk pembuatan cairan disinfektan.
Formula ramuan itu memang dapat digunakan untuk mensterilkan permukaan benda mati seperti gagang pintu, gerbang rumah, meja, dan kursi, tetapi tentu bukan untuk manusia.
Publik tak dapat membedakan disinfektan untuk benda mati yang berbahaya dengan antiseptik yang aman untuk tubuh seperti sabun.
Kementerian Kesehatan merespon cepat fenomena itu dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/111/375/2020 tentang Penggunaan Bilik Disinfeksi dalam Rangka Pencegahan Penularan COVID-19.
Menurut Kemenkes, disinfektan adalah bahan yang digunakan untuk menghilangkan sebagian besar atau semua mikroorganisme patogen pada permukaan benda mati, bukan untuk tubuh manusia.
Bahan yang banyak digunakan di lapangan seperti pemutih, klorin, etanol 70 persen, amonium kuartener dan hidrogen peroksida yang berbahaya.
Bahan tersebut hanya cocok untuk permukaan lantai, dinding, peralatan, ruangan, pakaian, dan alat pelindung diri.
Kontak disinfektan dengan tubuh sangat berbahaya karena berdampak pada membran mukosa seperti mata dan mulut sehingga berisiko bagi kesehatan.
Pemakaian berulang juga menyebabkan iritasi pada kulit, rasa kulit terbakar, dan mengganggu saluran pernapasan. Masalahnya ternyata tak hanya selesai dengan surat edaran tersebut.
Faktanya bilik disinfektan tetap digunakan di beberapa pemukiman dan kantor. Bedanya disinfektan diganti dengan yang biasa digunakan sebelum manusia masuk ke peternakan tertutup, rumah kaca pertanian, dan laboratorium.
Sebut saja disinfektan berbahan aktif Cetylpyridinium Chloride 1 persen, Cetyltrimethyl Ammonium Bromide 2 persen, dan Benzalkonium Chloride 2 persen. Bahkan beberapa universitas mendesain bilik disinfektan yang aman bagi manusia.
Beberapa merk dagang disinfektan berbahan di atas mengklaim tidak membuat iritasi kulit, biodegradable (dapat terurai alami), dan harum.
Disinfektan itu memang mengantongi izin edar dengan klasifikasi obat hewan dengan status obat bebas terbatas. Ia memiliki indikasi sebagai disinfektan kandang dan peralatan kesehatan hewan.
Disinfektan itu memang dianggap aman terkena ternak —seperti unggas maupun mamalia-- bahkan manusia. Ia digunakan untuk menyemprot tubuh manusia termasuk untuk bak pencuci alas kaki sebelum masuk kandang.
Tentu di peternakan dan lahan pertanian disinfektan untuk ternak tersebut memang boleh digunakan karena telah memenuhi Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 14/Permentan/PK.350/5/2017 tentang klasifikasi obat hewan.
Berdasarkan Permen tersebut obat bebas terbatas adalah obat keras untuk hewan yang dapat diperoleh secara bebas dengan ketentuan tertentu. Misalnya tersedia dalam jumlah, dosis, bentuk tertentu. Kemasan obat bebas terbatas juga wajib diberi tanda peringatan khusus.
Berikutnya obat bebas terbatas hanya dapat diperoleh dengan resep dokter hewan. Demikian pula pemakaiannya wajib dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga kesehatan hewan di bawah pengawasan dokter hewan.
Namun kini ketika wabah Covid 19, disinfektan berstatus obat bebas terbatas tersebut dapat dibeli oleh siapapun untuk digunakan pada manusia tanpa pengawasan dokter hewan.
Pengawasannya pun hanya dilakukan oleh sekuriti area tersebut. Tentu hal tersebut sangat beresiko bagi kesehatan manusia.
Pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian, harus segera mengeluarkan peraturan atau surat edaran bersama yang berisi daftar disinfektan di pasaran untuk hewan yang masih boleh digunakan untuk manusia di bilik-bilik disinfektan.
Aturan ini benar-benar darurat dibutuhkan agar publik mendapat informasi secara terang benderang keamanan disinfektan hewan untuk manusia.
Sebaliknya, bila memang ternyata segala jenis disinfektan tersebut memang berbahaya, maka penggunaan disinfektan bagi tubuh manusia di bilik-bilik sebelum pintu masuk kantor, perumahan, maupun tempat ibadah harus dilarang sama sekali.
Dengan demikian publik dapat menolak disemprot disinfektan ketika terpaksa harus masuk kantor atau perumahan tertentu.
Tentu peraturan yang mengiijinkan maupun melarang disinfektan sintetis untuk manusia oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian hanya salah satu upaya untuk mencegah meluasnya penyebaran corona.
Pemerintah juga dapat mengembangkan dan mempromosikan disinfektan alami yang aman bagi manusia dengan meningkatkan dukungan riset yang saat ini banyak dilakukan oleh perguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian.
*) Destika Cahyana SP MSc adalah Peneliti di Badan Litbang Kementerian Pertanian dan Pendiri Institut Agroekologi Indonesia (INAgri).
Baca juga: Penyemprotan disinfektan PMI DIY jangkau 1.293 titik
Baca juga: Damkar Jakpus disinfeksi 407 titik selama tanggap darurat COVID-19
Baca juga: PMI Kota Tangerang bagikan gratis cairan disinfektan kepada masyarakat
Baca juga: PU Kota Kediri rakit alat penyemprot disinfektan portabel
Copyright © ANTARA 2020