Islamabad (ANTARA News/AFP) - Ulama berhaluan paling keras di Islamabad, ibukota Pakistan, hari Jumat mendesak pemerintah memberlakukan hukum Islam atau berisiko menghadapi revolusi berdarah, dua tahun setelah pasukan keamanan menyerbu Masjid Merah.
"Penguasa harus mengumumkan sharia Islam melalui majelis nasional," kata Maulana Abdul Aziz, yang ditangkap selama pengepungan Juli 2007 terhadap masjid itu, yang dicurigai menjadi tempat persembunyian militan yang terkait dengan Al-Qaeda.
Ia ditangkap ketika berusaha melarikan diri dari pengepungan mematikan dengan menyamar memakai burka wanita.
Pembebasan ulama itu 21 bulan kemudian dengan jaminan menyulut kekhawatiran bahwa Masjid Merah akan menjadi ajang pergolakan lagi di Islamabad.
"Jika mereka tidak memberlakukan sharia, ada risiko revolusi berdarah," kata Aziz, yang menghadapi sekitar dua lusin kasus teror, penculikan dan persekongkolan menyita properti pemerintah namun belum diajukan ke pengadilan.
Ulama itu juga menyinggung masalah militansi muslim di distrik Swat, Pakistan baratlaut, dan kawasan suku dimana pasukan pemerintah sedang memerangi pemberontakan.
"Jika anda ingin mengatasi permasalahan, anda harus menghentikan operasi di Swat dan daerah-daerah suku, kemudian memberlakukan sharia di Pakistan," kata Aziz, yang meminta orang-orang yang sedang mendengarkan pernyataannya itu berjanji melanjutkan perjuangan untuk menegakkan keadilan Islam.
Selama sholat Jumat, jamaah meneriakkan "Jihad Jihad" (perang suci), "Hidup Islam", "Hidup Syuhada" dan "Allah Maha Besar".
Anak-anak muda memakai topi merah tradisional yang disukai oleh Abdul Rashid Ghazi, saudara Aziz. Tokoh utama militan Masjid Merah itu tewas selama pengepungan oleh pasukan keamanan.
Lebih dari 100 orang tewas selama penyerbuan pasukan komando angkatan darat terhadap tempat ibadah itu dan sekolah putri yang berdekatan pada 10 Juli 2007.
Peristiwa itu mendorong gelombang pemboman balas dendam di penjuru-penjuru Pakistan sejak itu yang telah menewaskan sekitar 2.000 orang.
Peringatan itu disampaikan Aziz ketika pasukan Pakistan sedang berusaha memerangi militansi di daerah-daerah suku, khususnya Swat.
Pakistan mendapat tekanan internasional yang meningkat agar menumpas kelompok militan di wilayah baratlaut dan zona suku di tengah meningkatnya serangan-serangan lintas-batas pemberontak terhadap pasukan internasional di Afghanistan.
Daerah suku Pakistan, khususnya Lembah Swat, dilanda konflik antara pasukan pemerintah dan militan Taliban dalam beberapa waktu terakhir ini.
Sekitar 1.500 militan dikabarkan tewas dalam ofensif yang diluncurkan di distrik-distrik Lower Dir pada 26 April, Buner pada 28 April dan Swat pada 8 Mei. Ofensif itu mendapat dukungan dari AS, yang menempatkan Pakistan pada pusat strateginya untuk memerangi Al-Qaeda.
Swat dulu merupakan daerah dengan pemandangan indah yang menjadi tempat tujuan wisata namun kemudian menjadi markas kelompok Taliban.
Perjanjian yang kontroversial antara pemerintah dan ulama garis keras pro-Taliban untuk memberlakukan hukum Islam di sebuah kawasan di Pakistan baratlaut yang berpenduduk tiga juta orang seharusnya mengakhiri pemberontakan Taliban yang telah berlangsung hampir dua tahun.
Perdana Menteri Yousuf Raza Gilani mendesak rakyat Pakistan bersatu melawan kelompok ekstrim, yang menurutnya mengancam kedaulatan negara itu dan yang melanggar perjanjian perdamaian tersebut dengan melancarkan serangan-serangan.
Para pejabat PBB mengatakan, sekitar 2,4 juta orang mengungsi akibat pertempuran itu -- sebuah eksodus yang menurut kelompok-kelompok hak asasi merupakan perpindahan terbesar penduduk di Pakistan sejak negara itu terpisah dari India pada 1947.(*)
Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009