Jakarta (ANTARA News) - Tidak jauh dari pelabuhan Muna, Sulawesi Tenggara, tepatnya di depan kantor Dinas Kehutanan Muna terdapat sebuah Tugu Jati. Tugu berwarna putih tersebut menjulang tinggi dengan puncak berhias replika daun, bunga dan biji jati.
Keberadaan monumen tersebut menguatkan bahwa Raha, ibukota Kabupaten Muna, pernah menjadi kota Jati.
Saat ini tegakan pohon jati yang besar sulit ditemukan di Muna. Kalaupun ada, paling hanya di pinggir-pinggir jalan, sementara di pedalaman yang tersisa cuma tunggak-tunggak pohon sisa penebangan.
Hutan jati Muna bisa dikatakan sudah habis. Jati Muna yang besar, tinggal tersisa di Cagar Alam Napabalano, di daerah Tampo. Di sanalah terdapat sebuah pohon jati yang sangat besar, yang sudah berumur ratusan tahun.
Konon Jati Muna pertama kali ditanam oleh seorang tokoh masyarakat Muna yang bernama Paelangkuta, sekitar 700 tahun yang lalu. Saat itu, pemanfaatan Jati di Muna, dikendalikan oleh kerajaan untuk kepentingan perumahan rakyat.
Dalam perkembangannya tanaman jati berkembang luas di seluruh Pulau Muna, sehingga selain Jawa dan Nusa Tenggara Timur, Pulau Muna terkenal dengan sebaran hutan-hutan jati yang subur. Pulau Muna pun dikenal sebagai pulau jati.
Di Kabupaten Muna terdapat 235,759 hektare (ha) kawasan hutan negara, yang terbagi menjadi kawasan Hutan Produksi seluas 39,685 ha, Hutan Produksi Terbatas seluas 11,693 ha, Hutan Lindung seluas 46,363 ha, hutan wisata seluas 82,009 ha dan hutan yang dapat dikonversi seluas 56,009 ha.
Saat ini hampir tidak ada yang tersisa dari tegakan pohon jati yang besar di kawasan hutan. Semuanya habis ditebang, secara legal maupun ilegal.
Pengusahaan dan pengelolaan hutan jati di Muna, semula hanya dilakukan pemerintah daerah Muna, melalui Perhutanda (Perusahaan Kehutanan Daerah.
Namun pada akhir 1990-an sampai awal 2000-an muncul perusahaan-perusahaan swasta yang membuka pabrik-pabrik pengolahan kayu di Muna, tanpa memperhitungkan kelestarian sumberdaya hutannya.
Hal ini juga makin diperparah banyaknya kasus-kasus penjarahan hutan yang berujung kepada semakin rusaknya hutan, khususnya hutan jati Muna setelah kerusuhan Mei 1998.
Arsip berita-berita media massa sekitar tahun 2000-an, mengungkapkan maraknya pengrusakan hutan jati, penjarahan kayu, konflik antara masyarakat sekitar hutan dengan pemerintah, sampai pada berita tentang dugaan korupsi hasil lelang kayu jati di Muna.
Di samping euforia reformasi, tafsir implementasi otonomi daerah yang keliru, telah menyebabkan ketidakpastian hukum dan kebijakan pengelolaan hutan di Muna, yang berakibat terjadinya percepatan degradasi dan kerusakan hutan jati Muna.
Saat ini semuanya telah terjadi. Kini sangat sulit menemukan hutan atau tegakan jati yang luas yang berada dalam kawasan hutan negara di Muna. Kegiatan reboisasi dan penanaman hutan kembali belum tampak hasilnya.
Lahan rakyat
Seperti di banyak daerah lain di Jawa, Jati, disamping ditanam di lahan hutan negara juga banyak ditanam di tanah-tanah milik masyarakat. Di Muna potensi tanaman Jati di lahan milik rakyat sebenarnya cukup besar dan potensial.
Meski belum ada angka pasti, tetapi menurut perkiraan Swadaya Masyarakat Indonesia (SWAMI) Muna, terdapat kurang lebih 130.000 Ha hutan jati milik rakyat Muna.
Menurut Mukadimah, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Muna serta La Ode Husyima, salah seorang staf Dinas Kehutanan Kabupaten Muna, dalam kesempatan yang berbeda menyebutkan bahwa sampai sekarang pemerintah daerah, khususnya Dinas Kehutanan Muna, belum mempunyai data pasti tentang luasan hutan jati milik masyarakat, karena belum pernah dilakukan inventarisasi.
Saat ini beberapa pihak di Muna mulai serius untuk mengembangkan hutan rakyat. Inisiasi ini banyak di dorong oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Muna, seperti SWAMI dan Jaringan Masyarakat Pelestari Sumber Daya Masyarakat Pedalaman dan Pesisir (LEPMIL), yang sudah melakukan pendampingan kepada masyarakat pengelola hutan jati.
La Ode Ota, Direktur SWAMI menuturkan saat ini lembaganya sedang mendampingi masyarakat petani hutan jati di 35 desa, dengan luasan hutan mencapai lebih dari 1.000 hektar, yang dimiliki oleh sekitar 943 petani.
Pendampingan yang dilakukan masih pada tahap penguatan kelembagaan petani, dimana pada bulan April 2009, telah terbentuk Asosiasi Petani Hutan Jati Milik (PHJM) Kabupaten Muna, sebagai wadah bagi para petani hutan jati.
Sementara itu menurut Kasyanto dari LEPMIL, saat ini lembaganya juga sedang mendampingi para petani hutan jati di 25 desa, dengan luasan lebih dari 700 Ha. Rata-rata kepemilikan hutan jati petani, minimal 1 hektar per kepala keluarga, bahkan ada yang memiliki jauh lebih banyak.
Pada dasarnya rakyat ini semestinya dapat hidup secara berkecukupan, bahkan berlebih, jika mereka memanfaatkan dan menjual hasil-hasil kayu jatinya.
Inisiasi ini disambut dengan positif oleh para pihak di Muna. Mereka mengharapkan agar pengelolaan hutan rakyat jati di Muna akan dapat mengembalikan identitas Muna sebagai pulau Jati.
Pada sebuah diskusi untuk membahas model pengelolaan hutan jati milik di Muna yang diselenggarakan SWAMI dan didukung oleh Sulawesi Community Foundation (SCF) dan Dinas Kehutanan Kabupaten Muna, para narasumber yang hadir seperti Dinas Kehutanan Muna, LEI, JAUH (Jaringan Alam Untuk Hutan), SCF, dan anggota DPRD setempat sepakat agar jati Muna dapat dikembangkan dengan model pengelolaan hutan jati lestari, yang sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan hutan lestari, untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta melindungi dan melestarikan hutannya.
Sedangkan pada diskusi dengan para pengambil kebijakan daerah di Dinas Kehutanan Muna pada akhir bulan Juni yang lalu, salah satu kesepakatannya adalah para pihak yang hadir sepakat untuk membuat sebuah wadah forum atau kelompok kerja multi pihak untuk lebih mendorong lahirnya kebijakan pengelolaan hutan jati milik di Muna, serta sebagai jembatan dan fasilitator bagi berjalannya asosiasi PHJM.
Kepala Dinas Kehutanan Muna berjanji akan mendorong Bupati Muna untuk membuat surat keputusan tentang pembentukan forum atau kelompok kerja multi stakeholder ini.
Tujuan akhir inisiasi ini adalah agar masyarakat dengan dukungan para pihak di Muna dapat melakukan pengelolaan hutan jatinya secara lestari. Indikasi kelestarian serta legalitas akan dinilai melalui proses penilaian verifikasi legalitas kayu dan/atau sertifikasi pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari (PHBML).
Sampai saat ini kegiatan pendampingan masih pada tahap penguatan kelembagaan PHJM, yang akan diikuti dengan kegiatan-kegiatan seperti pemetaan batas antar pemilik, inventarisasi potensi hasil hutan, dan pembuatan dokumen rencana pengelolaan hutan.
Menurut Ketua PHJM, La ode Muhammad Asri, hutan-hutan jati milik di Muna akan dinilai agar memperoleh sertifikasi ekolabel. PHJM akan terus mengidentifikasi seluruh anggotanya, terutama terkait potensi dan luasan hutan jati yang belum terdaftar.
Namun, katanya, inisiasi ini tidak akan dapat berjalan baik tanpa dukungan pemerintah, swasta, LSM, maupun masyarakat luas.
Ia yakin, jika pengelolaan hutan jati milik ini berhasil maka identitas Muna sebagai pulau jati tidak hanya tinggal kenangan. (***)
(*) Peneliti Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). LEI adalah organisasi berbasis konstituen yang mengusahakan terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam hutan yang adil dan lestari di Indonesia.
Oleh Oleh Gladi Yayan Hardiyanto*
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009