Jakarta (ANTARA) - Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR-RI Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas menilai penyelamatan nyawa dan kesehatan rakyat dari ancaman COVID-19 serta menyelamatkan atau memulihkan perekonomian nasional harus menjadi prioritas pemerintah.
"Untuk itu meminta pemerintah perlu membuat aturan khusus sebagi dasar hukum dalam kondisi "darurat" dengan tujuan agar tugas Pemerintah bukan hanya efektif tetapi juga sah secara hukum," kata Ibas dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Ibas: F-Demokrat tolak bahas RUU tidak terkait penyelesaian COVID-19
Baca juga: Ibas turunkan Tim Satgas anti-COVID-19 di 142 titik
Baca juga: Ibas: perlu tim pengawasan khusus mitigasi COVID-19
Hal itu dikatakannya dalam pendapat akhir mini Fraksi Partai Demokrat (FPD) terkait Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, dalam Rapat Kerja Badan Anggaran DPR RI, di Jakarta, Senin (4/5).
Menurut dia, Perppu Nomor 1 tahun 2020 memiliki cakupan luas dan materi yang tidak satu rumpun, yaitu terlihat jelas Perppu tersebut menggabungkan aturan pembiayaan penanganan dampak COVID-19 dengan aturan penanggulangan stabilitas sistem keuangan yang esensi aturannya berbeda.
"Karena lebih tepat jika Perppu yang diterbitkan tidak terkesan 'Sapu Jagat', karena akan lebih tepat jika diterbitkan dalam 2 atau 3 Perppu. Salah satu Perppu yang pernah direkomendasikan FPD adalah agar pemerintah mengajukan APBN-Perubahan (APBN-P) 2020 dalam bentuk Perppu," ujarnya.
Sebagai catatan kritis, dia menyampaikan Fraksi Partai Demokrat menyampaikan bahwa dalam Pasal 2 Ayat 1 diatur dan ditentukan fleksibilitas defisit anggaran di atas 3 persen dari PDB sampai dengan tahun 2022.
Hal itu menurut dia, artinya pemerintah bisa menetapkan angka defisit anggaran sebesar apapun tanpa dibatasi karena itu fraksinya menyarankan agar besarnya defisit ini benar-benar sebatas yang diperlukan dan alokasi anggarannya benar-benar mengarah pada penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi yang merosot akibat pandemi COVID-19.
"Saran konkret FPD dalam hal ini antara lain pemerintah harus lebih fokus pada program dan stimulus yang menghasilkan multiplier effect langsung terhadap ekonomi masyarakat. Kelompok kelompok masyarakat miskin, termasuk yang kehilangan pekerjaan merupakan pihak paling rentan dan harus diprioritaskan dalam hal ini," katanya.
Menurut dia, FPD juga menyarankan agar pemerintah fokus pada penyempurnaan mekanisme dan administrasi data bantuan sosial (bansos), BLT, PKH, dan skema jaring pengaman sosial lainnya agar tepat sasaran dan tidak terjadi tumpang tindih.
Dia menilai, relokasi anggaran baik pusat maupun daerah harus benar-benar tepat, juga disarankan penundaan bahkan jika perlu, pembatalan proyek-proyek pembangunan beranggaran besar dan termasuk proyek infrastruktur yang bukan prioritas.
"Sekarang selamatkan terlebih dahulu nyawa manusia, nanti kita lanjutkan lagi pembangunan yang serba benda," ujarnya.
Baca juga: Banggar DPR setujui Perppu COVID-19 jadi UU
Baca juga: Menkeu: Perlindungan hukum di Perppu COVID-19 bukan imunitas absolut
Baca juga: Pemerintah siapkan PP untuk penundaan angsuran kredit
Ibas mengatakan, terkait imunitas penyelenggara negara dalam menjalankan Perppu yang dijelaskan Pasal 27 ayat 2, dirinya mengingatkan bahwa 18 Desember 2008 lalu DPR RI pernah menolak Perppu No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang dinilai memberikan kekebalan hukum kepada penyelenggara negara.
Menurut dia apabila sekarang aturan tersebut diajukan kembali dan disetujui, maka akan menimbulkan inkonsistensi.
"Di atas itu FPD tetap mengedepankan pentingnya penyelenggara negara melakukan kewajibannya dengan tetap adil, amanah, jujur, menjunjung tinggi akuntabilitas dan menjalankan 'good governance'," katanya.
Dia mengingatkan agar Perppu No.1 Tahun 2020 tidak bertentangan dengan Undang Undang 1945 dan hukum konstitusi yang berlaku, perubahan APBN bagaimanapun harus dibahas secara bersama antara Presiden dan DPR RI.
Baca juga: Sri Mulyani prediksikan penerimaan perpajakan kurang Rp403,1 triliun
Baca juga: Sri Mulyani : Penundaan bayar cicilan kredit UMKM capai Rp271 triliun
Baca juga: Sri Mulyani, sosok Kartini penjaga fiskal di era modern
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020