Jayapura (ANTARA News) - "Mesin politik" dari partai politik (Parpol) pendukung calon presiden M.Jusuf Kalla (JK) dan calon wakil presiden Wiranto (Win) yaitu Partai Golkar dan Partai Hanura dinilai bekerja sangat lemah menjadi salah satu faktor kekalahan "pasangan Nusantara" ini pada Pemilihan umum Presiden (Pilpres) 8 Juli.
Hal itu disampaikan pengamat politik Duma Socratez Sofyan Yoman di Jayapura, Kamis, menanggapi kekalahan pasangan JK-Win pada Pilpres 8 Juli dan kemenangan pasangan SBY-Boediono pada pesta demokrasi lima tahunan itu.
"Kita perlu sadar,mesin politik yang menggerakkan semangat berjuang untuk memenangkan Pilpres dari pasangan JK-Win sangat lemah. JK sendiri sejak awal pencalonan dirinya menjadi Capres tidak mendapat dukungan signifikan dari elit politik parpol berlambang pohon beringin itu," kata staf pengajar Sekolah Tinggi Teologia Gereja Baptis Papua itu.
Elit politik Golkar di tingkat Pusat (DPP Partai Golkar) yang tidak sepenuhnya mendukung pencalonan JK berpengaruh sampai ke tingkat DPD Golkar di berbagai provinsi dan DPC Golkar di banyak kabupaten/kota sehingga pada akhirnya JK menuai kekalahan yang cukup telak di banyak wilayah.
Sedangkan Partai Hanura yang mengusung Wiranto menjadi Cawapres mendampingi Capres JK dinilai sebagai Parpol baru yang belum banyak dikenal rakyat sekaligus merupakan parpol kecil di tingkat nasional hingga ke daerah-daerah sehingga mesin politiknya pun belum dapat bekerja secara maksimal.
"Apabila mesin politik Golkar bekerja utuh dan maksimal maka belum tentu Pilpres berlangsung satu kali putaran," kata Socratez.
Selain itu, lanjutnya waktu sangat singkat antara Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dengan Pilpres. Persiapan yang kurang matang dalam waktu yang sangat singkat menjadi faktor lain dari kekalahan JK-Win.
Begitu pula, Tim sukses JK -Win sangat kurang memanfaatkan media untuk melakukan pencitraan dan kalau pun itu dilakukan, rentang waktunya pun sangat singkat yakni hanya pada masa kampanye Pilpres yang begitu singkat.
Perjuangan untuk meninjau kembali DPT di KPU yang akhirnya menghasilkan keputusan MK antara lain penggunaan KTP disertai kartu keluarga pada Pilpres pun dinilai kurang efektif karena waktu yang sangat singkat antara keputusan MK dengan hari H Pilpres 8 Juli 2009 sehingga masyarakat hampir tidak punya waktu lagi untuk mengurus KTP dan kartu keluarga.
Tidak bisa dipungkiri juga bahwa banyak juga warga masyarakat yang punya hak pilih tidak datang ke TPS untuk memberikan suara mereka pada 8 Juli 2009 atau dengan kata lain,banyak warga yang memilih "golput" dan hal ini pun menjadi salah satu faktor lain kekalahan pasangan JK-Win dan pasangan Mega-Prabowo.
Sebaliknya, lanjut Duma Socratez, mesin politik Partai Demokrat bersama parpol pendukung lainnya telah bekerja maksimal dan sangat rapih sehingga pada akhirnya mereka menuai kemenangan dalam Pilpres yang mengusung pasangan SBY-Boediono menjadi presiden dan wakil presiden terpilih untuk periode 2009-2014.
"Partai Demokrat bersama partai-partai pendukungnya sudah lama bekerja, mereka kompak sekali dari pusat sampai daerah dan lebih dari itu, mereka benar-benar memanfaatkan media untuk membangun opini publik sekaligus memperkuat pencitraan terutama kepada figur Boediono yang menuai banyak nada minor akibat kampanye hitam yang menimpa dirinya," katanya.
Pada akhirnya, semua pihak harus mengakui kemenangan pasangan SBY-Boediono pada pesta demokrasi lima tahunan ini dan bergandengan tangan untuk bersama-sama membangun bangsa dan negara RI menuju cita-cita bersama yaitu tetap utuhnya NKRI dan semakin sejahteranya kehidupan rakyat Indonesia serta terbersitnya sinar kedamaian di seluruh Nusantara.(*)
Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009