Kepada ANTARA di Pekanbaru, Selasa, Suparman mengatakan bahwa Pertuni Kota Pekanbaru beranggotakan 65 kepala keluarga, sebagian besar bekerja sebagai tukang pijat, ada pula yang menjadi pengamen.
"Mayoritas anggota kita berprofesi sebagai tukang pijat... Hampir tidak ada orang yang mau pijat lagi," katanya.
Ia menuturkan, usaha layanan pijat sepi pelanggan sejak wabah COVID-19 masuk ke Pekanbaru. Langganan layanan pijat Suparman pun terus berkurang semasa wabah.
"Bulan Januari saya bisa dapat panggilan 80 orang, bulan Februari turun jadi 60 orang, bulan April turun tinggal 15 orang, dan bulan Mei ini baru satu orang," katanya.
Ia mengatakan bahwa tunanetra yang menjadi tukang pijat sudah sangat berhati-hati dalam menangani pelanggan agar tidak tertular virus corona. Mereka mengenakan masker dan mengukur suhu tubuh pelanggan untuk mendeteksi kemungkinan pelanggan sakit sebelum memijat.
"Kalau badannya panas kita lebih baik tidak memijatnya," kata Suparman.
Namun dia mengatakan bahwa kontak fisik langsung tidak bisa tidak dilakukan dalam memberikan layanan pijat. Tukang pijat tunanetra tidak bisa menggunakan sarung tangan karena mereka mengandalkan indra peraba dalam memberikan terapi pijat.
"Karena harus dengan sentuhan langsung orang jadi takut untuk pijat," katanya.
Suparman mengatakan Pertuni berusaha menggalang dana dari donatur untuk membantu meringankan beban tunanetra yang kehilangan mata pencarian selama wabah COVID-19.
Baca juga:
Tukang pijat tunanetra di Banda Aceh menganggur akibat COVID-19
Penyandang tunanetra di Medan gelar tadarus bersama selama Ramadhan
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2020