Jakarta (ANTARA News) - Kematian mengenaskan Michael Jackson di usia ke 50 telah membuat emosi orang seluruh dunia tumpah dan berkat globalisasi, berita kematiannya berdampak juga kepada penggemarnya di Asia dan Timur Tengah.

Awal 2007, saudaranya Jermaine Jackson, seorang muslim, mengumumkan bahwa Michael akan memeluk agama Islam. Kemudian, pada November 2008, hanya beberapa bulan sebelum kematiannya, pers melaporkan bahwa Michael resmi memeluk agama Islam.

Michael adalah pria dengan identitas yang kompleks, yang membantunya mencapai popularitas hebat di seluruh dunia. Jelas sudah bahwa dia menderita trauma hebat akibat masa kecilnya yang mempengaruhi kehidupannya kemudian.

Bagaikan sel batang yang bisa tumbuh di bagian organ manapun, sikap kanak-kanak Michael membuatnya seperti bunglon.

Dengan perlahan menjadi lelaki berpenampilan perempuan, Michael mengekspresikan dirinya sebagai lelaki sekaligus perempuan, seorang bocah sekaligus ayah, kanak-kanak dalam tubuh orang dewasa.

Sebagian karena dilatari figmentasi kulitnya, dia menggugat hitam kulitnya dan menjadi secara rasial ambisius seperti menimpa sejumlah orang berkuasa dan makmur Afro-Amerika dalam generasinya.

Menjelang akhir kehidupannya, dia menjembatani citra keluarganya yang penganut Kristen Kesaksian Jehovah dengan menunjukkan minatnya yang dalam kepada Islam.

Dia adalah teladan untuk semua orang, terutama karena sindroma Peter Pan-nya. Seorang anak bisa tumbuh untuk menjadi apapun, begitu moral pesan Peter Pan.

Jermaine Jackson menerangkan, bahwa pengalaman melancong ke Kawasan Teluk (di Timur Tengah) telah membuat keluarganya menjalin kontak dengan Islam.

Jermaine menemukan fakta bahwa Islam menjawab beberapa dilemma yang tidak dia dapatkan dari Kesaksian Jehova. Seperti (sutradara) Malcolm X yang beralih memeluk Islam saat berziarah ke Mekkah dari pemeluk kultur sektarian ala Amerika menjadi pemilik Sunni anti rasis yang universalis, Jermaine pun menempuh perjalanan serupa dengan Malcolm X.

Kita hanya bisa berspekulasi mengenai minat Michael Jackson kepada Islam. Agaknya peradilan hukum pada 2005 dalam mana dia dibebaskan dari semua tuduhan, telah membuatnya berhasrat untuk berubah (secara spiritual).

Psikolog pengadilan mengonfirmasikan bahwa kondisi psikologi Michael itu bagai seorang bocah tidak berdosa, dengan mengeluh bahwa dia telah ditahan di depan seorang bocah berumur 10 tahun.

Michael Jackson sangat terluka dan terhina oleh peristiwa tahun 2005 itu, lalu dia menyingkir ke Bahrain dan pencariannya pada tradisi spiritualitas yang berbeda mungkin keluar dari kehinaan itu.

Mereka yang hidup pada dekade 1980an tidak akan pernah melupakan "Thriller" dan video-video terobosan lainnya yang diciptakan Michael.

Tapi bagi saya yang kemudian ikonik dari Michael adalah "Black or White," yang dengan kuatnya memesankan bahwa esensi berada di atas aliran identitas dalam dunia yang terglobalisasi ini, sekaligus menggarisbawahi kemanusiawiaan kita semua, sesuatu yang oleh seorang bocah abadi merasa telah dirampok darinya sehingga masa kecilnya kelabu tanpa akhir.

Anak kecil tak tahu soal prasangka rasial dan agama. Tragedi terbesar Michael Jackson adalah penarikdiriannya yang kekanak-kanakan dari realita hingga membuatnya lebih rentan dari dirinya sendiri dan orang lain, dan tidak pernah melindunginya dari kegilaan atau realitas-realitas kemanusiaan lainnya.

Di atas itu semua, (spirit) anak-anak tak boleh mati. (*)


Juan Cole adalah Presiden Global Americana Institute, Sejarawan Timur Tengah dan Asia Selatan dari Universitas Michigan, AS. Pendapatnya disadur oleh Jafar Sidik dari weblog juancole.com, dalam judul sama tanggal 26 Juni 2009.

Pewarta: Juan Cole
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009