Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) akan berkoordinasi untuk mengantisipasi penyalahgunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan paspor dalam penyelenggaraan pemilihan presiden, Rabu (8/7).
"Kami harus segera berkoordinasi dengan Bawaslu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," kata anggota KPU, Andi Nurpati, di Jakarta, Senin, usai putusan Mahkamah Konstitusional (MK) tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
MK menyatakan warga yang belum terdaftar dalam DPT Pilpres dapat menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk menyalurkan hak suaranya pada 8 Juli lusa.
"Hal lain yang juga perlu diantisipasi adalah ketersediaan logistik pemilu seperti surat suara. KPU hanya menyediakan surat suara sejumlah DPT yang telah ditetapkan ditambah dua persen di setiap TPS," kata Andi.
Putusan MK tersebut, kata Andi, memberikan beberapa konsekuensi terhadap penyelenggaraan pilpres, diantaranya sosialisasi secepatnya putusan tersebut kepada KPPS.
Putusan MK ini juga membuat KPPS harus membuat daftar bagi warga yang belum terdaftar dan melakukan pemerataan pemilih.
"TPS yang sudah penuh oleh para pemilih, maka mungkin akan kekurangan surat suara untuk yang belum termasuk dalam DPT. Oleh karena itu akan dialihkan ke TPS yang belum terlalu ramai," jelas Andi.
Sementara itu, anggota Bawaslu, Bambang Eka Cahyo Widodo, mengatakan, persoalan yang akan bertambah apakah pemilih yang menggunakan KTP benar-benar warga.
"Harus diantisipasi betul oleh para camat atau kepala desa untuk memperhatikan betul KTP yang keluar dalam jangka waktu 6 sampai 8 Juli, karena bisa saja tim sukses memobilisasi pembuatan KTP dadakan," kata Bambang.
Namun, penggunaan KTP palsu, akan dikenai hukuman pidana, sementara persoalan lain yang dihadapi Bawaslu adalah sosialisasi kepada pengawas lapangan.
"Dengan sisa waktu sekitar 36 jam, Bawaslu harus menyosialisasikan keputusan MK itu," katanya. (*)
Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009