Jakarta (ANTARA) - Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra PG Talattov mengingatkan, agar pemerintah berhati-hati menyikapi tuntutan penurunan harga bahan bakar minyak (BBM), sebab harga minyak dunia masih sangat fluktuatif dan memungkinkan sewaktu-waktu melonjak tajam.
"Mari belajar dari gejolak harga minyak dunia pada masa sebelum dan setelah krisis keuangan global 2008. Turun-naiknya harga minyak dunia secara ekstrim seperti roller coaster saat itu, sangat mungkin terjadi usai pandemi COVID-19," kata Abra di Jakarta, Senin.
Pada saat pra krisis, lanjutnya, harga minyak mentah jenis WTI meroket 52,6 persen, dari 91,7 dolar AS/barel (2 Januari 2008) menjadi 140 dolar AS/barel (2 Juni 2008), tetapi, melesatnya harga minyak dunia terbukti anomali.
Faktanya, menurut The Energy Information Administration (The EIA), konsumsi justru menurun dari 86,6 juta bph (Triwulan IV-2007) menjadi 85,73 juta bph (Triwulan II-2008).
Sebaliknya, pasokan minyak malah meningkat dari 85,5 juta bph menjadi 86,17 juta bph.
Namun, lanjut Abra, setelah titik puncak pada Juni 2008, harga minyak terjun bebas hingga 70 persen ke level 41 dolar AS pada akhir 2008.
Tetapi yang mengejutkan, sejak awal 2009 harga minyak kembali rebound hingga level 79 dolar AS/barel (1 Desember 2009) seiring sentimen pemulihan ekonomi global paska krisis 2008.
"Pengalaman 2008 menceritakan, dalam waktu singkat harga minyak bisa melonjak tajam sampai 92 persen. Dan bahkan kenaikannya lebih tinggi dibandingkan situasi pra krisis 2008. Makanya kita harus berhati-hati," katanya.
Terkait hal itu dia mendukung langkah Pemerintah yang tidak menurunkan harga BBM. Sesuai hasil evaluasi Kementerian ESDM, harga jual eceran pada Mei 2020, masih sama dengan harga sebelumnya.
"Keputusan tersebut sudah sangat bijak. Pemerintah tidak hanya melihat dalam jangka pendek, namun juga menengah dan panjang," lanjutnya.
Fluktuasi harga minyak, menurut dia memang sangat tinggi, pasalnya, saat ini terdapat faktor-faktor pemicu agar harga minyak dunia kembali menguat, termasuk faktor geopolitik.
Mulai dari perundingan OPEC plus dan rencana pemangkasan produksi hingga 9,7 juta barel per hari, ancaman Trumph kepada Arab Saudi jika tidak memangkas produksi minyak, eskalasi antara AS dan Iran, serta ancaman AS kepada Cina dalam perang dagang jilid kedua.
"Selain itu, tentu saja progres penemuan vaksin Corona yang cukup menggembirakan, yang akan memulihkan perekonomian," katanya.
Selain itu, tambahnya dia, kalaupun sekarang BBM diturunkan, tidak akan memiliki dampak signifikan kepada perekonomian, karena inflasi saat ini yang terbilang rendah.
“Inflasi Maret 2,9 persen secara umum. Dan inflasi energi dari awal tahun sampe akhir Maret, 0,23 persen. Jadi masih relatif rendah. Dan siginfikansi penurunan harga BBM saat inflasi rendah sangat kurang, apalagi konsumsi juga menurun drastis,” kata dia.
Yang berbahaya, lanjutnya, kalau sekarang harga BBM diturunkan, maka saat rebound nanti sangat mungkin harga BBM juga ikut dinaikkan.
"Dan ini bedanya. Kalau penurunan BBM tidak otomatif berimbas pada penurunan harga pokok. Tetapi jika BBM dinaikkan, akan memicu kenaikan harga pokok sehingga terjadi inflasi. Makanya sangat berbahaya," ujarnya.
Pewarta: Subagyo
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020