Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum dari Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang Drs Adami Chazawi, SH mengatakan, azas peninjauan kembali (PK) perkara pidana bahwa pihak yang berhak mengajukan PK semata-mata terpidana dan ahli warisnya, yang berpijak pada landasan filosofi yang menjiwai azas PK.

Adami Chazawi mengemukakan hal tersebut dalam keterangan tertulisnya sebagai saksi ahli dalam kasus Bank Bali, di PN Jakarta Selatan, Senin.

Ia mengatakan, substansial PK berpijak pada dasar kesalahan negara yang telah mempidana penduduk yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya hukum biasa yang membawa akibat telah dirampasnya hak-hak terpidana secara tidak sah.

"Negara bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Bentuk pertanggungjawaban tersebut ialah negara memberikan hak kepada terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK satu kali," katanya.

Oleh sebab itu, katanya, maka lembaga PK semata-mata ditujukan untuk memperbaiki putusan pemidanaan yang salah tersebut. Negara tidak dibenarkan mengajukan PK untuk sebaliknya menghukum terdakwa yang sudah dibebaskan atau lepas dari tuntutan hukum yang sudah tetap.

Menurut Adami Chazawi, sesuai logika, apabila secara substansial putusan pembebasan terdakwa salah, kesalahan itu berada pada pihak negara, bukan pada terdakwa. Kesalahan negara tidak dibenarkan untuk dibebankan akibatnya kepada terdakwa.

"PK berpijak pada keadilan yang telah dilanggar oleh negara mempidana terdakwa, yang seharusnya tidak. Dari sudut terpidana, PK semata-mata untuk keadilan dirinya," katanya.

Landasan filosofis PK diwujudkan dalam norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang merupakan kehendak pembuat UU, sehingga hakim tidak dibenarkan membuat tafsir dengan melanggar kehendak pembentuk UU, demikian Adami Chazawi.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009