Kupang (ANTARA News) - Indonesia harus ikut mengelola kawasan Laut Timor dengan skema pengelolaan bersama Indonesia dan Australia karena merupakan daerah berklaim tumpang tindih yang tidak bisa dikelola secara sepihak oleh Australia.

"RI-Australia perlu membentuk zona perikanan bersama di Laut Timor agar nelayan tradisional kita jangan lagi menjadi korban penangkapan pihak keamanan laut Australia seperti yang terjadi selama ini," kata Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB), Ferdi Tanoni di Kupang, Jumat.

Mantan agen imigrasi Australia dan penulis buku "Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta" ini mengemukakan pandangannya menyusul rencana nelayan tradisional Nusa Tenggara Timur (NTT) membentuk aliansi untuk membela kepentingan mereka jika bermasalah dengan Australia di Laut Timor.

"Ketika kami ditangkap dan dihukum serta perahu-perahu kami dibakar oleh keamanan laut Australia, tak ada pejabat satu pun di negeri ini (Indonesia) yang membela kami," Mustafa, nelayan asal Oesapa Kupang, mengungkapkan salah satu alasan dibentuknya aliansi nelayan.

Australia sendiri melarang nelayan tradisional Indonesia mencari ikan dan biota laut lain di perairan Laut Timor dan Pulau Pasir karena Negeri Benua itu berkepentingan di Laut Timor.

"Ladang-ladang minyak dan gas bumi (Migas) di Laut Timor itu sudah dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan minyak raksasa Australia dan AS dengan memasang jaringan pipa raksasa bawah laut dari sumber minyak di Laut Timor menuju Darwin di Australia utara sejauh sekitar 532 km," katanya.

Kondisi ini membuat khawatir Australia karena tindakan nelayan Indonesia dikhawatirkan menimbulkan kebocoran atau kerusakan pada jaringan pipa migas bawah laut sehingga bukan ikan yang ditangkap nelayan tradisional Indonesia yang dipermasalahkan Australia, sambungnya.

"Berapa sih harga ikan di Laut Timor sampai Australia harus melarang nelayan kita beroperasi di sana? Semuanya itu terjadi karena kepentingan Australia atas Migas di Laut Timor. Nelayan kita hanya sasaran antara saja, bukan target utama," kata Tanoni.

Dia menilai, penataan kembali perbatasan kedua negara itu tidak hanya terbatas pada masalah nelayan tradisional, tetapi juga penataan kembali batas landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Timor yang dibuat sangat terburu-buru sehingga tidak konsisten penerapannya dan bertentangan dengan fakta geomorfologi Laut Timor.

"Sudah sepatutnya MOU Box 1974 yang diredefinisi pada tahun 1989 dibatalkan dan tidak perlu dipedomani lagi karena juga bertentangan dengan Perjanjian RI-Australian tentang ZEE dan Batas-batas Dasar Laut Tertentu tahun 1997 yang hingga kini belum diratifikasi parlemen kedua negara," katanya.

Lalu, dalam mengidentifikasi nelayan tradisional di Laut Timor seharusnya tidak terbatas pada nelayan Pulau Rote saja, akan tetapi juga seluruh nelayan tradisional Indonesia. (*)

Pewarta:
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009