Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Indonesia Boni Hargens menyatakan Pemilu Presiden (Pilpres) tidak mungkin berlangsung dalam satu putaran.

"Pilpres satu putaran adalah suatu kemustahilan. Kalau itu terjadi pasti ada yang bermasalah dalam proses pelaksanaan pemilihan ataupun dalam hitungan yang dilakukan lembaga penyelenggara Pilpres," kata Boni di Jakarta, Kamis.

Boni ketika berbicara dalam diskusi "Pro Kontra Polling Politik-Politik Polling dan Wacana Pilpres Satu Putaran" yang diselenggarakan "The Indonesia Leader Institute" menegaskan Pilpres tidak mungkin satu putaran dengan pertimbangan angka golongan putih (golput) diperkirakan masih tinggi dan perubahan perilaku pemilih juga tinggi.

Kalau golput berkisar 35 persen, katanya, maka ketiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden merebut 65 persen dari sekitar 172 juta pemilih.

"Kalau asumsi ketiga pasangan memiliki elektabilitas yang setara maka masing-masing mendapat 21,7 persen pada putaran pertama. Itu baru asumsi standard," kata dosen Ilmu Politik di Universitas Indonesia itu.

Asumsi yang lain, katanya, kalaupun pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mendapat suara tertinggi tetapi tidak mungkin meraih 50 persen plus satu suara pemilih.

Mengenai hasil jajak pendapat dari sejumlah lembaga survei yang menyebutkan bahwa SBY-Boediono menang dalam satu putaran atau bahkan dari keyakinan tim sukses SBY-Boediono, menurut Boni, tidak bisa dijadikan acuan obyektif dalam menilai elektabilitas kandidat.

"Survei kuantitatif memiliki kelemahan mendasar yakni validitasnya lemah karena hanya mengukur sikap sementara pemilih. Survei tidak bisa menilai sikap pemilih yang bingung, tidak bisa mempertimbangkan sikap politik pemilih sebelum dan setelah survei diadakan, dan berbagai perubahan lain pada detik-detik setelah wawancara selesai," katanya.

Sementara itu kandidat Doktor dari UI M Fadjroel Rachman menegaskan bahwa tidak mungkin satu pasangan capres dan cawapres meraih 50 persen plus satu suara dengan sebaran di duapertiga provinsi sebagaimana dipersyaratkan dalam undang-undang.

"Mustahil meraih suara sebanyak itu dengan penyebaran di sebagian besar provinsi," kata Fadjroel yang juga pendiri Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia).

Ia menyatakan bahwa pemilu presiden satu putaran merupakan komoditas politik dari salah satu pasangan calon dan tim sukses mereka.

Boni Hargens menambahkan mayoritas pemilih merupakan gabungan pemilih tradisional (parokial) dengan pemili kaula sehingga tidak seutuhnya rasional.

"Informasi yang diterima setiap saat bisa mengubah pilihan setiap saat juga," kata Boni yang juga Direktur Lembaga Pemilih Indonesia itu.

Ia mengatakan, berdasarkan kajian kualitatif Lembaga Pemilih Indonesia tahun 2009, terdapat 60-70 persen pemilih berkategori parokial dan kategori kaula, kurang dari 20 persen pemilih masuk dalam kategori pemilih kaula murni, dan kurang dari 10 persen masuk dalam kateogri pemilih partisipan.

Pemilih parokial dicirikan oleh rendahnya kesadaran untuk terlibat dalam proses politik, terbatasnya informasi dan pengetahuan mengenai politik, lemahnya kesadaran akan hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai warga negara.

Pemilih kaula memiliki kesadaran terlibat dalam proses politik tetapi masih pada tahap berfikir, belum sampai pada keterlibatan langsung.

Pemilih partisipan memiliki kesadaran, informasi, dan pengetahuan poitik yang memadai dan terlibat secara langsung dalam proses politik.

"Konteks ini tentu memberikan kontribusi signifikan mengapa praktik politik uang, mobilisasi, termasuk intimidasi, masih efektif dijadikan sebagai alat untuk menarik pemilih terutama dilakukan oleh pelaku politik yang tidak siap dengan kultur persaingan demokratik," katanya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadwalkan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 akan berlangsung pada 8 Juli dan bila harus berlangsung dalam dua putaran maka akan dilakukan pada 8 September.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009