Washington (ANTARA News/AFP) - Organisasi Negara Amerika (OAS) hari Rabu memberi Honduras waktu 72 jam bagi pemulihan kembali kekuasaan Presiden Manuel Zelaya atau menghadapi pembekuan keanggotaan dalam kelompok tersebut, menjelang pembicaraan yang direncanakan antara presiden terguling itu dengan para pejabat AS di Washington.

Majelis umum organisasi itu memerintahkan Sekretaris Jendral OAS Jose Miguel Insulza mengambil "prakarsa-prakarsa diplomatik yang bertujuan... mengukuhkan kembali kekuasaan Presiden Jose Manuel Zelaya Rosales" dalam tiga hari mendatang.

Jika upaya-upaya ini gagal, maka Honduras akan dilarang menjadi anggota OAS, sesuai dengan piagam organisasi itu, kata kelompok itu dalam sebuah komunike.

Ketegangan berkobar di Honduras sejak Zelaya digulingkan dalam kudeta dukungan militer pada Minggu dan segera diterbangkan keluar dari negara tersebut. Kudeta itu merupakan yang pertama di negara eksportir utama pisang dan kopi itu dalam waktu lebih dari 20 tahun.

OAS menyatakan, mereka "sangat khawatir atas krisis politik di Republik Honduras akibat kudeta tersebut", yang menurut organisasi itu "telah menghasilkan perubahan tatanan demokrasi yang tidak konstitusional".

Zelaya, yang terpilih pada 2005 untuk masa jabatan empat tahun yang tidak bisa diperbarui, dijadwalkan mengadakan pembicaraan di Washington pada Rabu dengan para pejabat AS, sehari menjelang rencananya kembali ke negaranya yang berpenduduk 7,5 juta jiwa.

Pertemuannya di ibukota AS itu dilakukan ketika semakin banyak negara menarik duta besar mereka dari Tegucigalpa. Spanyol adalah negara terakhir yang memanggil pulang duta besarnya dari negara Amerika Tengah itu.

Protes meletus Selasa pada hari kedua berturut-turut di Tegucigalpa, ibukota Honduras, dan penyerang yang tidak dikenal melemparkan sebuah granat yang gagal meledak ke arah Mahkamah Agung.

Zelaya telah berjanji kembali ke Honduras pada Kamis dengan didampingi para pemimpin OAS dan Presiden Argentina Cristina Kirchner.

Namun, banyak pihak khawatir kepulangannya itu akan menyulut bentrokan lebih lanjut antara para pendukung dan penentangnya.

Jaksa Agung Luis Alberto Rubi telah memperingatkan bahwa Zelaya akan "segera" ditangkap jika ia kembali ke Honduras, dimana ia akan menghadapi tuduhan yang mencakup "pengkhianatan" dan "pelanggaran kekuasaan".

Selasa, Zelaya menyatakan tidak akan mengupayakan masa jabatan kedua, yang berarti membatalkan rencananya untuk berusaha mencalonkan diri lagi pada pemilihan umum November yang telah menyulut krisis tersebut.

"Jika ditawari kemungkinan tetap berkuasa (untuk masa jabatan kedua), saya tidak akan menerimanya," katanya pada jumpa pers di New York.

"Saya akan melaksanakan kewajiban saya sampai 27 Januari," tambahnya.

Sejak kudeta pada Minggu, Honduras semakin terkucil dan sejumlah negara Amerika Latin memanggil duta besar mereka untuk melakukan pembahasan.

Zelaya, yang terpilih pada 2006 untuk masa jabatan empat tahun yang tidak bisa diperbarui, ditangkap pada Minggu ketika ia berencana mengadakan pemungutan suara untuk meminta rakyat Honduras menyetujui referendum yang akan datang mengenai pemilihan dirinya lagi sebagai presiden setelah masa jabatannya berakhir pada Januari.

Referendum yang direncanakan Zelaya itu telah dianggap ilegal oleh pengadilan tinggi negara itu dan ditentang oleh militer, namun presiden tersebut mengatakan bahwa ia akan terus maju dengan rencana itu dan kotak-kotak suara sudah didistribusikan.

Ia adalah orang terakhir dalam daftar panjang pemimpin Amerika Latin yang mencakup Presiden Venezuela Hugo Chavez yang mengupayakan perubahan konstitusi untuk memperluas kekuasaan presiden dan memperpanjang masa jabatan.(*)

Pewarta:
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009