Yogyakarta (ANTARA News) - Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang masih memiliki garis keturunan dengan Sri Sultan Hamengku Buwono II merupakan sosok yang selama ini mencoba berdiri di tengah antara budaya Jawa dan kehidupan modern dalam perjuangan meraih kesuksesan.
Hal ini disampaikan Sugeng Wiyono penulis buku "Belajar Spiritual Bersama `The Thinking General` " dalam diskusi buku di Universitas Atmajaya Yogyakarta (UAJY), Selasa.
"Dalam keyakinan masyarakat Jawa seseorang yang ingin meraih cita-cita luhur harus melalui perjuangan keras baik itu melalui `laku` prihatin maupun menjaga sikap,` katanya.
Ia mengatakan, masyarakat Jawa juga yakin bahwa siapapun yang bisa mendapatkan `wahyu` atau `pulung` akan pula dapat memperoleh kekuasaan.
"Masyarakat yang sering melakukan laku prihatin ini bukan tidak mungkin akan mendapatkan `wahyu` atau `pulung` tersebut sehingga memperoleh kekuasaan," katanya.
Ia mengatakan, SBY dalam kehidupannya sejak kecil hingga saat ini mencoba untuk berdiri di tengah dan melakukan apa yang menjadi tradisi atau kepercayaan masyarakat Jawa yang dipadukan dengan kehidupan modern saat ini.
"Ini bisa dilihat bagaimana perjuangan SBY sejak kecil hingga ia menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer, dengan laku inilah SBY bayak memperoleh penghargaan hingga saat ini," katanya.
Ia menambahkan, budaya Jawa memiliki nilai-nilai yang cukup dalam seperti ungkapan ajining diri dumunung ono ing pangucaping lathi (harga diri terletak pada apa yang diucapkan) serta ajining rogo gumantung ono ing busono (kehormatan raga terletak pada busana yang dikenakan) dan ini merupakan pedoman dasar dalam kehidupan masyarakat.
"Upaya untuk melaksanakan pedoman tersebut juga merupakan perjuangan dan `laku prihatin` untuk bisa mencapai apa yang dicita-citakan," katanya.
Sementara itu, Bambang K Prihandono, staf pengajar Fisipol UAJY mengatakan memang ada kemungkinan kepercayaan masyarakat akan `wahyu` atau `pulung` sampai saat ini masih hidup dan ini sering dimanfaatkan untuk meraih kekuasaan.
"Ada pengalaman teman saya menjadi tim sukses kakaknya dalam pemilihan kepala desa, kemudian ia menyewa sebuah lampu sorot yang sangat terang kemudian pada malam menjelang pemungutan suara lampu tersebut dibungkus dengan kain biru dan dinyalakan dari rumah sang calon," katanya.
Ia mengatakan, psikologi masyarakat yang masih percaya dengan adanya `wahyu` atau `pulung` tersebut ketika melihat ada sorot cahaya dari rumah sang calon merasa bahwa orang tersebut mendapatkan wahyu.
"Hebatnya pada saat pemungutan suara, sang calon berhasil meraih dukungan suara yang sangat besar sehingga memenangkan pemilihan kepala desa. Padahal ini hanya rekayasa dari adiknya yang melihat psikologi masyarakat untuk membaca pilihan politik lokal," katanya.
Ia mengatakan, kepercayaan masyarakat dimana yang mendapatkan `wahyu` atau `pulung` dijadikan rujukan bahwa pemimpin adalah mereka yang mendapatkan pulung.
Menurut dia, isi buku tersebut sebenarnya tidak menjelaskan bagaimana perjalanan SBY dalam menekuni atau menjalani tradisi Jawa dan tokoh SBY hanya dijadikan perumpamaan dalam setiap topik bahasan.
"Buku ini tidak menggambarkan dengan jelas bagaimana SBY melakukan budaya Jawa tersebut, ini bukan kesalahan penulis namun ini merupakan kegagalan dari sang editor yang hanya melihat dari sisi momentum untuk merebut pasar," katanya.
Sementara itu politikus Partai Demokrat Roy Suryo dalam kesempatan tersebut mengatakan, buku tersebut berisi pokok-pokok ajaran Jawa yang sangat tinggi nilainya dan ini juga nampak dalam kehidupan keseharian SBY.
"Mungkin SBY tidak mendapatkan pulung, tetapi dia mampu memperoleh kharisma atau dapat menciptakan citra, SBY sadar bagaimana ketika harus berbicara di depan publik dan memiliki kesadaran bermedia yang baik untuk membangun citra positif," katanya. (*)
Oleh Luki Satrio
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009