"Soal bendera Bintang Kejora itu polisi saja yang maju, karena soal bendera itu masalah hukum, tidak perlu tentara," kata Menhan pada Peluncuran Buku "Papua Road Map" terbitan LIPI yang dihadiri Kepala LIPI Prof Dr Umar Anggara Jenie di Jakarta, Selasa.
Pengibaran bendera bintang kejora, menurut dia, mungkin saja dilakukan sebagai protes karena tidak dipedulikan oleh bupati setempat, jadi tidak dilatarbelakangi niat yang terlalu jauh seperti keluar dari NKRI.
"Bendera naik lima menit saja kan tidak apa-apa, dekati saja orangnya, tidak perlu dipukul," katanya.
Juwono menekankan perlunya penghargaan terhadap seluruh budaya yang ada di Indonesia hingga percikan budaya paling kecil, termasuk budaya di Papua, karena budaya merupakan suatu potensi dan bagian dari pertahanan serta komponen yang memperkuat NKRI.
Juwono mengatakan, diperlukan suatu tokoh dan pemimpin yang mampu menyatukan Papua, karena sejauh ini, tidak ada pemimpin di Papua yang mampu menyatukan Papua secara menyeluruh, seperti juga di Aceh.
"Mari kita menuju ke sana sehingga tawar-menawar antara pusat dan provinsi bisa dipegang untuk menerjemahkan keinginan seluruh rakyat Papua, termasuk 300 suku yang ada. Ini yang sulit karena mereka tidak bersatu, ada beban sejarah, perebutan sumber daya alam dan sejenisnya," katanya.
Menhan mengatakan, perlunya peta jalan tentang tata kepemerintahan di Papua, paling tidak tiga lompatan kultur dari tingkat lokal hingga provinsi.
Menurut Menhan, jangankan di Papua, di Jawa saja masih banyak masyarakat yang memiliki paham pedesaan dan membutuhkan lompatan kultural 2-3 kali sebelum mereka bisa merasakan sentuhan pusat.
"Saya ingin ajak teman-teman Papua dari berbagai suku untuk melompat dari paling bawah ke yang lebih atas dan bisa mengelola sumber-sumber dari pusat seperti DAU (Dana Alokasi Umum) dan memanfaatkannya untuk kepentingan rakyat Papua," katanya.
Juwono juga mengingatkan tentang ada kemungkinan munculnya "big boss" atau tokoh besar yang dianggap panutan tetapi sebenarnya koruptor atau memanfaatkan rakyat untuk kepentingannya sendiri.
Ia juga mengeluh tentang berita-berita yang membenturkan rakyat Papua dan pemerintah RI serta adanya pemutarbalikkan fakta di Papua.
"Bahasa-bahasa seperti ini laris untuk CNN, sama seperti wartawan yang bicara Ambalat. Tidak ada perang dibilang perang. Jangan mem-`blow up` dan melipatgandakan fakta," katanya. (*)
(T.D009/B/R007/R007) 30-06-2009 14:15:39
Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009