Jakarta (ANTARA News) - David W. Moore, mantan editor senior lembaga survei opini publik terkemuka Gallup Poll, mungkin telah membuat marah sejawatnya di banyak lembaga survei karena menerbitkan "The Opinion Makers: An Insider Exposes the Truth Behind the Polls" pada Oktober 2008.
Di buku itu, Moore menelanjangi apa yang sebenarnya kerap berlaku di lembaga poling, bahwa mereka lebih tertarik pada pabrikasi atau pembentukan opini publik dengan menarik perhatian media massa, ketimbang mengungkap opini masyarakat yang sebenarnya.
Sejak Maret 1993 sampai April 2006, Moore bekerja pada Gallup Organization sebagai editor pelaksana dan kemudian editor senior Gallup Poll.
Selama kiprahnya itu, kutip Wall Street Journal edisi 25 November 2008, Moore mengaku kerap dikritik masyarakat karena berlaku bias, kritikan yang juga diterima semua lembaga poling.
Suatu saat ketika diwawancarai sebuah radio, seseorang bertanya pada Moore mengapa dia tak diikutkan dalam poling padahal dia masuk daftar responden Gallup Poll, tidakkah ini karena pandangan politik si penanya tidak cocok untuk Gallup.
Moore tidak mampu menjawab pertanyaan itu karena takut masyarakat menyimpulkan bahwa seleksi responden di Gallup memang bias.
Yang paling mengganggu Moore adalah kritik terhadap hasil poling Gallup pada 17 September 2004, dua minggu setelah Konvensi Partai Republik menominasikan kembali George Bush sebagai Presiden AS.
Waktu itu, bekerjasama dengan CNN dan USA Today, Gallup mempublikasikan hasil survei dibawah judul "Bush Melambung, Terus Melaju" karena elektabilitas Bush memang naik.
Sebelum Konvensi Republik, Bush unggul 3 persen, lalu naik 7 persen setelah konvensi, kemudian bertambah lagi 6 persen sepuluh hari berikutnya hingga akhirnya melewati eletabilitas Senator John Kerry dari Demokrat dengan 55 persen versus 42 persen.
Saat bersamaan, Pew Research yang menjadi pesaing Gallup, meluncurkan hasil poling yang justru mengunggulkan Kerry, padahal keduanya melakukan survei pada waktu bersamaan.
Pikir orang Amerika, kok bisa dua survei dalam periode sama menghasilkan gambaran yang bertolak belakang?
Masalah akan selesai jika reputasi lembaga survei buruk, namun Gallup dan Pew tak menghadapi masalah reputasi, apalagi keduanya adalah dua raksasa industri poling yang dihormati media massa sehingga rekomendasinya tak pernah diabaikan.
Moore dan editor pelaksana Jeff Jones, lalu dihujani pertanyaan oleh pers, mengapa hasil survei Gallup berbeda dari Pew.
Pers menyerang Gallup karena tersengat ingatan semasa Pilpres 1996 dan 2000 saat mana hasil survei Gallup dinilai membingungkan.
Kontroversinya ini akhirnya tuntas setelah Direktur Survey Pew Research Scott Keeter dan David Moore mewakili Gallup, sepakat menerangkan ke publik bahwa yang menyebabkan hasil survei berbeda jauh adalah waktu pelaksanaan survei memang berbeda. Pew menyelenggarakannya lima hari, sementara Gallup tiga hari.
Namun sehari sebelum kesepakatan itu, kepada seorang wartawan, Moore membeberkan apa yang sebenarnya telah berlaku antara Gallup dan Pew.
Rupanya, Pew mengajukan pertanyaan kontroversial yang ditengarai titipan, menyangkut kiprah Bush sewaktu menjadi pilot tempur pada Garda Nasional.
Pertanyaan soal kiprah militer Bush inilah yang membuat hasil survei Pew berbeda dari Gallup. Responden Pew menjadi ragu mendukung Bush sehingga elektabilitas Bush pun menurun.
Begitu dijelaskan soal ini, si wartawan tersentak dan mengaku tak pernah mendengar keterangan seperti itu sebelumnya.
Membahayakan demokrasi
Dari bukunya, Moore melihat bahwa kebanyakan poling tidak bertanggungjawab pada apakah responden sudah memahami isu yang menjadi subjek survei. Mereka juga terlalu berani menyimpulkan sikap publik sebagai konstan padahal pandangan publik terus berubah.
Lembaga poling juga sering mengabaikan responden yang belum menentukan pilihan, padahal kelompok ini kerap menentukan dan menjadi bagian terbesar pemilih.
Karena memfokuskan pada siapa calon terkuat dan siapa kuda hitamnya, lembaga survei mengabaikan keadaan sebenarnya bahwa pada bulan-bulan sebelum pemilu berlangsung, banyak pemilih belum menentukan sikap dan tak terjaring oleh survei.
Tak hanya itu, kebanyakan jajak pendapat kerap menyamakan tingkat pengetahuan masyarakat mengenai subjek survei dan menyederhanakan samarnya prilaku pemilih dengan menguburnya melalui narasi heboh yang melenceng dari hasil survei.
Karena begitu mudahnya memanipulasi survei, hasil poling pun sering keliru. Ini diperparah oleh konflik kepentingan dan agenda laten dari pensponsor poling sehingga kesimpulan yang valid mengenai apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat sulit diperoleh.
Di sisi lain, poling lebih diarahkan untuk mengungkap keganjilan daripada menangkap aspirasi masyarakat dan tak bisa membedakan antara mana responden yang memahami isu dan mana yang tidak memedulikan isu.
Lain dari itu, pandangan responden telah dirancang agar sesuai dengan arah survei, melalui jawaban yang sudah ditentukan sebelumnya, padahal pergerakan opini publik mendikte sikap politik dan mempengaruhi cara para politisi dipilih.
Poling pun menjadi terlihat mengancam tatanan karena membuat perpolitikan ditentukan oleh data yang cacat, rapuh dan tidak valid.
Opini publik kemudian mengalami distorsi dan akhirnya menggerogoti demokrasi akibat pengembangbiakkan konsensus oleh lembaga survei demi memuluskan mereka yang diinginkan berkuasa oleh pelaku survei.
Ironisnya, dengan pongah lembaga poling menetapkan hasil polingnya sebagai standard arah kecenderungan opini publik. Celakanya, ini dikunyah bulat-bulat oleh politisi dan media massa.
Padahal, meminjam premis guru besar Media dan Komunikasi Universitas New York Profesor Mark Crispin Miller, argumentasi yang menyatakan poling tidak mengaburkan opini publik dan didaulat sebagai sikap orisinil publik, adalah membahayakan demokrasi.
Bahaya itu adalah agresi ranah publik oleh rekomendasi yang seolah berkonstruksi ilmiah, padahal hanya demi membangun opini publik. Ini terlihat dari seringnya hasil poling berbeda tajam satu sama lain.
Alhasil, jika pun lembaga-lembaga poling mampu menyempitkan perbedaan hasil poling, mereka telanjur dilihat negatif, bahkan dicampakkan.
"Sampah!" cerca Wakil Presiden NBC News Bill Wheatley, sedangkan Peter Coy dari BusinessWeek mendakwa, "Poling-poling sudah tidak ilmiah, tak bisa dipercaya, bias, merampas ranah privat, dan buang-buang waktu." (*)
Oleh Jafar M. Sidik
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2009
Dia terlalu berlebihan menganggap dirinya subyek dan menjadikan lainnya hanya sebagai obyek.
Kukutuak manusia Indonesia seperti ini.....