Medan (ANTARA News) - Pengelolaan hutang luar negeri Indonesia dinilai masih terlalu konservatif, terbukti dengan rasio utang Indonesia dari 100 persen setelah krisis sekarang turun bahkan mendekati 30 persen jauh di bawah standar negara maju sekalipun.

"Padahal di negara maju utang terhadap Pendapatan Domestk Bruto (PDB) nya di atas 100 persen. Sedangkan standar yang diterapkan di negara-negara yang tergabung di Eropa Union (Masyarakat Eropa-red) adalah 60 persen," kata pengamat ekonomi moneter, Dr Tarmiden Sitorus pada kuliah umum Ketahanan Moneter Indonesia Menghadapi Gejolak Finansial Global di Universitas HKBP Nomennsen Medan, Minggu.

Ia mengatakan, sebagian masyarakat mendesak utang harus berkurang, tapi di sisi lain lapangan kerja harus bertambah, padahal untuk ekspansi membutuhkan dana yang cukup besar.

"Penting diingat bahwa, dalam sistem perekonomian moderen, utang sebagai merupakan hal yang biasa, bukan sesuatu yang menakutkan. Yang paling penting adalah bagaimana dapat mengelola agar utang itu suistanable sehingga tidak terlalu membebankan," katanya.

"Persoalan utang kita sekarang justru paling banyak di pasar modal dalam dan luar negeri yang tidak mengenal cicilan. Yang ada adalah pembayaran bunga setiap tahun dan ketika jatuh waktu harus dibayar pokoknya,"kata mantan pejabat di BI ini.

Ia mengungkapkan, andaikan Indonesia harus melunasi utang, maka anggaran yang tersedia untuk dialokasikan kepada pembangunan tentunya akan berkurang. Akibatnya akan terjadi kontraksi yang menimbulkan kelambanan pertumbuhan ekonomi kita.

Dampaknya akan terjadi pengangguran besar-besaran karena sedikitnya lapangan pekerjaan. Utang merupakan instrumen bukan tujuan sesuai standar yang diterapkan di negara maju.

Pada bagian lain ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia walaupun belum sama dengan masa sebelum krisis moneter, tapi sudah cukup baik dan lebih tahan.

"Kita sepertinya banyak belajar dari krisis 10 tahun lalu sehingga pemerintah dan dunia perbankan kita jauh lebih hati-hati. Namun karena kita terlalu berhati-hati mengakibatkan pertumbuhan kita relatif rendah. Kalau ingin memacu pertumbuhan lebih tinggi, maka kehati-hatian itu harus dikurangi,"katanya.(*)

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009