(ANTARA News) - Adakah hubungan antara kematian tragis "King of Pop" Michael Jakcson dan kesebelasan AS yang akan berlaga dalam partai final melawan raksasa sepakbola dunia di Ellis Park, Johannesburg, Afrika Selatan, pada Senin dinihari nanti?.
Tampaknya anak-anak Bob Bradley pada Minggu (waktu setempat, Senin dinihari), harus merampungkan "misi mustahil" jilid kedua. Kali ini mereka harus menuntaskan tugas yang mirip-mirip seperti peran yang dimainkan Captain EO (diperankan Michael Jackson) dan kru musikalnya dalam petualangan ruang angkasa ala Luke Skywalker dalam trilogi sci-fi paling spektakuler di bumi, Starwars.
Begitu kuatnya pengaruh pemasaran Starwars di seantero jagat, maka Michael Jackson yang juga tengah bertengger di puncak ketenarannya melakukan kolaborasi dengan produser/sutradara Starwars, George Lucas, untuk membuat film musikal pendek berbujet 30 juta dolar AS yang diberi judul, Captain EO, dan menyerahkan pengarahannya pada sutradara beken lainnya, Francis Ford Coppola.
Supaya produksinya lebih meyakinkan, produser Captain EO, George Lucas, mengajak figur seperti Vittorio Storaro yang legendaris itu, ikut-ikutan direkrut sebagai penasihat visual Coppola.
Medio September 1986 film dengan bujet raksasa (30 juta dolar AS pada waktu itu) diluncurkan di tengah masyarakat yang sedang dilanda demam Starwars dan virus Indiana Jones. Captain EO ternyata gagal meraih sukses. Dia hanya tercatat sebagai film musikal yang flop. Senasib dengan Waterworld yang disutradarai Kevin Costner. Para kritikus sinema ramai-ramai menghujat George Lucas dan Francis Ford Coppola, kok mau-maunya membuat film sepicisan itu.
Di luar kualitasnya yang digunjingkan masyarakat, Captain EO tetap dibanjiri penonton yang sebagian besar adalah fans berat sang biduan raja pop itu. Dalam film tersebut, misi sang kapten bersama seluruh kru dalam pesawat luar angkasanya adalah melakukan perjalanan antar planet untuk menemui seorang ratu kegelapan jahat (diperankan oleh Anjelica Huston) yang mengancam keselamatan planet bumi.
Dalam petualangan antariksanya itu, Captain EO ditemani sejumlah kru robot, mirip yang juga menjadi habitat Luke Skywalker (Mark Hamill) dalam serial Starwars yang menjadi citranya. Yang membedakannya hanyalah jika Skywalker selalu bertarung dengan pedang laser kesayangannya, maka Captain EO cukup menari, berdendang seraya menerjemahkan koreografi musikalnya.
Dia meliuk-liuk dengan lincah, seperti gaya khasnya yang kita kenal, berdiri memimpin di depan, dengan kostum serba putih, mengendalikan robot dan seluruh kru. Dalam perjumpaannya dengan sang ratu, Anjelica Huston, Captain EO berupaya menyampaikan sesuatu bagi sang ratu agar dirinya dapat berubah kembali menjadi ratu jelita yang baik hati.
EO kemudian menyerahkan hadiah dengan memberi tahu bahwa tombolnya hanya dapat dibuka dengan sebuah lagu.
Maka mengalunlah tembang bernuansa R & B, melodi lalu menggema membahana, dan semua anak buah Captain EO bergerak lincah demi mewujudkan perjalanan musikal mereka demi untuk sampai pada puncaknya. Lagu “We Are Here to Change the World!" berkumandang dan nomor itu ternyata merupakan password untuk membuka peradaban gelap sang Ratu yang akhirnya melihat bahwa betapa mulianya bersatu dalam demokrasi.
Carlos Bocanegra, kapten AS yang masih cedera tapi ngotot bermain saat bertarung melawan Spanyol, dan juga playmaker elegan, Landon Donovan, tampaknya tetap akan memimpin skuad Bradley di lapangan hijau. Jika toh diturunkan, maka misi Kapten Carlos akan lebih rumit ketimbang perjalanan penuh koreografi yang dilakukan Captain EO dan kawan-kawannya.
Dengan Tim Howard mengawal gawang dan palang pertahanan dijaga De Merit dan Onyewu, serta Donovan memimpin barisan tengah yang terpaksa harus kehilangan Michael Bradley karena kartu merah, maka tetap ada harapan yang masih mungkin diletakkan pada Altidore dan Charlie Davis sebagai tombak yang bukan tak mungkin mampu menggetarkan jala Julio Cesar yang sehari-harinya bergabung dengan tim kampiun Italia, Inter Milan.
Lupakan final impian Brazil versus Spanyol. AS toh datang mewakili kecerdasan tim yang terbukti berhasil secara taktik membunuh para matador arogan yang kini hanya berkubang dalam genangan airmata. Final ini masih menawarkan pertarungan menarik karena AS diberi kesempatan untuk membuktikan kekalahannya 0-3 melawan Brazil pada babak penyisihan di stadion Loftus Versefeld, Pretoria.
Menyimak laga Brazil versus tuan rumah kesebelasan Afrika Selatan, anak-anak asuhan Carlos Dunga itu bukanlah tim yang tak bisa dikalahkan. Penampilan mereka malam itu sangat buruk. Gelandang serang termahal saat ini, Ricardo Kaka bahkan tak berkutik oleh grendel Afrika Selatan yang dikoordinir oleh James Booth, raksasa yang menjaga pertahanan tim Bafana-Bafana itu.
Luiz Fabiano berlarian dan menembak bola seolah-olah dia bermain sendirian di lapangan. Maicon juga seperti kehilangan kecerdasannya. Bek kiri Andre Santos tak berhasil menutup celah yang bisa diserobot para pemain lama. Untung spekulasi Dunga memasukkan Daniel Alves pada penghujung waktu pertandingan berbuah manis. Dari tendangan bebasnya negeri Brazil masih bisa tegar dan terhindar dari rasa malu seperti yang dialami tim matador.
Pendek kata, jika AS bermain penuh disiplin seperti yang diperlihatkan mereka ketika membantai Spanyol, dan kesebelasan samba bermain stres seperti saat berlaga melawan Afrika Selatan, maka "misi mustahil" jilid kedua dapat kembali terjadi atas kesebelasan sekelas Brazil. Kematian tinggal menanti saat yang tepat bagi mereka.
Di tengah duka para pecinta karya Jacko si raja pop itu, Landon Donovan dan kawan-kawan harus menyadurkan keinginan Bradley di lapangan tanpa kehadiran putra kandungnya Michael yang kena kartu merah langsung, pada pertarungan AS melawan Spanyol dalam malam semifinal yang cemerlang bagi sepakbola AS itu. Masih cintakah Dewi Fortuna pada mereka?
Akhirnya, dalam perkabungan Jacko, seluruh skuad AS tampaknya juga akan menghadirkan aroma semangat kebersamaan yang selalu hadir dalam lirik romantik sang raja pop, sayangnya semua itu kontras dibanding dengan kehidupan sang idola yang sesungguhnya. Karena dia tutup usia dalam senyap, sunyi dan hati yang sepi. Jauh dari semangat kemenangan yang dikejar tim AS untuk mengubur tim Brazil dengan seindah-indahnya.
”We are here to Change the World!”
-Michael Jackson
Pewarta: Oscar Motuloh
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2009