Bandung (ANTARA News) - Realitas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia saat ini ditandai besarnya arus nafsu berpolitik yang merasuki semua elemen, hingga terkesan melampaui ambang batas rasionalitas.
"Keasyikan arus berpolitik di negeri ini sudah melalui ambang batas rasionalitas, semua orang dari berbagai profesi dan termasuk yang berada di luar orbit politik tampak larut dan seolah tidak ada kemuliaan di luar dunia politik," kata Dr Yudi Latief, pengamat politik dari Reform Institute di Bandung, Jumat.
Dia mencontohkan, keasyikan arus berpolitik sangat terlihat dari beberapa tahun belakangan dan semakin menjadi saat menjelang Pemilu legislatif 9 April 2009 dan terus berlanjut menjelang Pemilu Presiden (Pilpres) 8 Juli 2009.
Ia memprediksi keasyikan arus dan gonjang-ganjing perpolitikan di tanah air tidak akan pernah berhenti dan suasana "panas" berlanjut ke lembaga legislatif yang ditandai adanya kubu-kubu kekuatan.
Ia menghimbau masyarakat untuk terus mengimbangi suasana perpolitikan di Indonesia dengan berupaya menambah wawasan atau melek politik termasuk juga dalam menghadapi Pilpres 8 Juli 2009.
"Dari tiga pasangan capres/cawapres yang ada memang tidak ada yang ideal dan bisa memenuhi harapan masyarakat Indonesia, tapi pilihlah yang dinilai masyarakat terbaik dan memberikan harapan baru dari semua yang terburuk," ucapnya pada diskusi publik di Bandung baru-baru tadi.
Pilpres merupakan gate keeper dalam menyeleksi calon-calon pemimpin negara di berbagai bidang, sehingga tingkat kualitas Pemilu akan menentukan tingkat kualitas pemimpin yang dihasilkan.
Ia mengatakan, menghadapi masa krisis dan kekacauan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara diperlukan peran kepemimpinan yang lebih besar dan tanggap serta mampu mengambil keputusan.
Menurut Yudi Latief, perkembangan anti-teori terjadi di Indonesia selama ini dimana krisis terus berlangsung, tapi pemimpin kharismatik tak kunjung muncul atau hanya sesaat muncul kemudian ditelan arus zaman.
"Suasana seperti inilah yang diratapi sebagai krisis kepemimpinan", tegasnya.
Hal yang dipikirkan seolah bukanlah kapasitas transformatif dari kekuasan, melainkan daya beli dari para pemimpin, akibatnya, partai politik gagal mereproduksi intelektual organiknya, sedangkan para pemimpin yang punya bibit-bibit kharismatik sebagai pemimpin organisasi masyarakat terpaksa mengikuti logika alokatif yang begitu cepat menggerus kewibawaan.
Kondisi tersebut, menurut dia, bisa digambarkan sebagai "jalan baru tak kunjung menemukan pemimpin baru, dan pemimpin baru tak kunjung memperjuangkan jalan baru" dan artinya jalan buntu menghadang.
Lebih lanjut dikatakan, untuk memulai perubahan harus dari titik nol dan dari titik pemahaman awal dimana kekuasaan bukanlah akhir perjalanan, melainkan sarana untuk memperjuangkan kebajikan bersama.
"Setiap pemimpin di segala bidang dan tingkatan harus menyadari dan belajar mengemban tugas pastoral, sebagai penggembala yang menuntun dan memperjuangkan keselamatan rakyatnya yang artinya mereka harus berjiwa besar agar lebih besar dari dirinya sendiri," katanya.
Komitmen terhadap kemaslahatan publik ini menurut dia, menuntut para pemimpin tidak melulu mengandalkan modal finansial, tetapi yang lebih penting "modal moral" dalam arti kekuatan dan kualitas komitmen pemimpin dalam memperjuangkan nilai-nilai, keyakinan, tujuan, dan amanat penderitaan rakyat. (*)
Pewarta:
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2009