Jakarta (ANTARA) - Laksana klub-klub sepak bola yang cenderung defensif kala menghadapi Barcelona yang sangat agresif menyerang, strategi dunia dalam memerangi pandemi virus corona baru juga cenderung defensif.
Belum tersedianya penawar yang ampuh, baik itu vaksin maupun obat, membuat dunia serempak menggunakan cara-cara defensif dalam meredam serangan virus yang kemudian disebut Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dan menciptakan penyakit baru yang dinamai COVID-19 ini.
Strategi defensif itu terutama dalam bentuk lockdown yang dibarengi pedoman jaga jarak sosial, larangan berkerumun, dan memasifkan pola hidup higienis mengenakan masker, rutin cuti tangan, sampai sedia selalu hand sanitizer di rumah.
Faktanya, paling tidak untuk saat ini, strategi defensif terbukti efektif mengurangi pandemi maut yang sudah merenggut 200-an ribu nyawa manusia di seluruh dunia itu. Buktinya terlihat di Wuhan di China, Korea Selatan, Singapura, Jerman, Vietnam, Australia, Selandia Baru, bahkan Italia, Spanyol dan Prancis yang menjadi trio terparah di benua Eropa.
Baca juga: Paus Fransiskus imbau umat patuhi aturan cegah gelombang kedua corona
Indonesia sendiri mencatat cerita relatif sukses ketika pertumbuhan kasus baru di DKI Jakarta disebut-sebut telah menurun.
"Perkembangan terakhir kasus positif telah mengalami perlambatan yang sangat pesat," kata Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo.
Namun satu hal pasti untuk mencatat kesuksesan besar, lockdown atau apa pun namanya, termasuk Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diterapkan Indonesia, membutuhkan tes COVID-19 skala luas terhadap sebanyak mungkin warga negara, kalau tidak semuanya. Indonesia disebut-sebut minim dalam soal ini.
Tak ada yang sukses besar dalam meredam virus corona baru tanpa tes skala besar.
Strategi defensif itu menjadi yang paling mudah dan efektif, sekalipun amat menghabiskan energi nasional dan meminta ongkos ekonomi, politik, dan sosial yang luas biasa besar, sampai dunia pun terancam resesi yang dampaknya hampir pasti sampai juga ke Indonesia.
Pertanyaannya kini, sampai kapan dunia memasang pola defensif dalam melawan "virus iblis" yang sangat menular itu? Tak ada yang bisa menjawabnya sekalipun beberapa negara sudah melonggarkan aturan-aturan dalam membatasi pergerakan manusia.
Tetapi sebenarnya sejak awal tahun ini, sebagian tempat sudah melangkah ke strategi agresif "pertahanan terbaik itu adalah menyerang" sebagaimana berlaku pada banyak dimensi kehidupan termasuk sepak bola, lewat riset ekstensif berdukungan dana luar biasa besar guna menemukan vaksin dan obat untuk balas membinasakan COVID-19.
Sudah sekitar 200 program diluncurkan untuk mengembangkan vaksin dan obat COVID-19 yang melibatkan raksasa-raksasa farmasi seperti Gilead Sciences Inc dan Johnson & Johnson.
Indonesia sendiri bergerak lewat Bio Farma, Lembaga Biologi Moluker Eijkman, kalangan kampus, dan lainnya guna menemukan formula pembunuh COVID-19.
Baca juga: Bio Farma-RSPAD berkolaborasi dalam terapi tambahan pasien COVID-19
Vaksin
Penyelenggara Olimpiade Tokyo, acara olah raga bergengsi yang diundur ke 2021, sempat mengatakan kecuali vaksin virus corona sudah ditemukan Olimpiade tak akan bisa digelar.
Sedemikian pentingkah vaksin? Ya, karena vaksin membuat manusia kebal dari penyakit ini dan menjadi bagian sangat penting dalam mengakhiri pandemi COVID-19.
Masalahnya, butuh waktu lama untuk hadirnya sebuah vaksin, sebagian karena vaksin haruslah aman sekali untuk manusia karena tidak seperti obat yang hanya digunakan untuk orang sakit, vaksin disuntikkan kepada manusia sehat.
Karena mempertimbangkan banyak hal, butuh waktu paling singkat satu tahun sebelum vaksin tersedia di pasar. Paling tidak ini disampaikan oleh Lembaga Kesehatan Nasional (NIH) yang tidak saja menjadi lembaga riset kesehatan terkemuka di AS tetapi juga dunia.
Menurut organisasi kesehatan dunia WHO, kini sudah ada 70 calon vaksin COVID-19, namun baru lima saja yang sedang memasuki fase uji klinis atau diujikan kepada manusia sampai April 2020.
Uji klinis dirancang untuk menaksir keamanan dan kemujaraban vaksin. Dan ini melewati beberapa fase uji yang setiap fasenya mengikutsertakan sejumlah pasien dalam jumlah relatif besar.
Di antara calon vaksin virus corona baru yang tengah diujikan kepada manusia April ini adalah mRNA-1273 yang diproduksi raksasa farmasi AS, Moderna.
Dengan menggunakan duta RNA/asam ribonukleat (RNA yang sintesisnya diarahkan oleh gen ke berkas DNA), calon vaksin ini berusaha memicu tubuh membuat protein yang sangat penting bagi virus corona guna menciptakan reaksi kebal pada tubuh manusia.
Baca juga: Menristek: Eijkman dan Bio Farma intensif upayakan pembuatan vaksin
Moderna mendapatkan suntikan dana 483 juta dolar AS (Rp7,4 triliun) dari pemerintah AS dan saat ini sudah ada 45 pasien untuk uji klinis awal.
Berikutnya, calon vaksin buatan raksasa farmasi BioNTech SE dan Pfizer Inc serta Shanghai Fosun Pharmaceutical Group dari China untuk mengembangkan treatment preventif.
Calon vaksin ketiga yang memasuki tahap uji klinis April ini adalah CanSino Biologics Inc dari China yang bekerja sama dengan angkatan bersenjata China guna merekayasa genetik terhadap mutan virus replikasi-defektif.
Calon vaksin keempat yang uji klinis April adalah buatan Sinovac Biotech Ltd dari China yang menggunakan virus mati yang bisa membantu tubuh dalam menghasilkan antibodi terhadap patogen itu tanpa risiko infeksi.
Kelima adalah calon vaksin kelima yang dikembangkan Universitas Oxford di Inggris. Dua relawan telah disuntik calon vaksin ini April ini dan keduanya adalah bagian dari total 1.110 relawan yang direkrut untuk penelitian tersebut.
Vaksin ini dikembangkan selama tiga bulan oleh tim Universitas Oxford pimpinan profesor vaksinologi Sarah Gilbert yang yakin "80 persen" calon vaksin ini akan mujarab.
65 calon vaksin lainnya masih dalam tahap uji pra-klinis yang beberapa di antaranya akan uji klinis dalam satu sampai lima bulan ke depan, antara lain NVX-CoV2373 dari Novavax Inc yang dibuat dari konsep menciptakan antibodi yang bisa menahan protein "lonjakan" yang dipakai virus corona baru untuk menginfeksi sel inang pada tubuh manusia.
Novavax mengaku sudah menyiapkan 130 pasien untuk uji klinis pertengahan Mei mendatang, sedangkan hasilnya baru didapat Juli.
Raksasa farmasi lainnya, Sanofi dan GlaxoSmithKline Plc, berencana menggunakan teknologi yang sudah mereka kembangkan untuk salah satu vaksin flu miliknya sehingga bisa mempercepat pengembangan dan produksi vaksin. Perusahaan ini akan melakukan uji klinisnya pertengahan tahun ini dan siap menyediakan vaksin ini pertengahan 2021.
Sedangkan Johnson & Johnson, raksasa farmasi AS, akan melakukan uji klinis September mendatang dan diharapkan bisa menghadirkan vaksin yang dipakai massal paling cepat awal tahun depan.
Perusahaan ini digandeng pemerintah AS yang menginvestasikan dana Rp15,3 triliun untuk vaksin COVID-19. J&J menggunakan teknologi sama seperti saat mereka membuat calon vaksin Ebola.
Paul Stoffels, chief scientific officer Johnson & Johnson, mengatakan timnya menggabungkan virus flu biasa yang tak bisa mereplikasi dan bagian-bagian dari virus corona guna memicu respons kebal pada manusia.
Semua itu kabar menggembirakan untuk dunia yang sedang mencari formula medis yang akan jauh lebih murah ketimbang memberlakukan pembatasan-pembatasan seperti lockdown yang dampaknya sangat kolateral terhadap sistem nasional dan internasional, termasuk perekonomian.
Namun, karena perlu waktu paling lama untuk mendapatkan vaksin untuk penyakit yang amat menular ini, untuk sementara manusia bisa mengandalkan obat medis biasa yang jauh lebih mudah dan cepat tersedia ketimbang vaksin, sambil tentu saja terus melakukan pembatasan-pembatasan yang ketat.
Baca juga: Bio Farma kembangkan plasma darah untuk penyembuhan COVID-19
Obat
Obat antivirus biasanya bekerja untuk menghentikan virus mereplikasi atau menginfeksi sel tubuh manusia dan ini bisa meliputi apa saja, dari terapi bioteknologi yang rumit sampai obat generik yang sudah lama digunakan.
Di antara contoh obat antivirus yang kerap disebut dalam perang melawan COVID-19 adalah 'remdesivir". Ini adalah obat eksperimental yang menyasar material genetik RNA dan punya misi menghentikan SARS-CoV-2 dalam mereplikasi diri.
Obat yang diproduksi Gilead Sciences Inc ini sudah dicobakan sebagai obat anti-Ebola dan menjadi salah satu obat yang diresepkan sejumlah kecil kalangan medis saat melawan COVID-19.
Kabar terbaru dari Amerika Serikat tengah pekan ini menyebutkan bahwa penelitian menunjukkan remdesivir mujarab dalam membantu mempercepat kesembuhan pasien pengidap COVID-19. Hasil studi di AS ini menunjukkan untuk pertama kalinya ada obat yang terbukti meningkatkan khasiat terhadap penyakit COVID-19.
Berikutnya adalah obat yang diagung-agungkan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yakni hydroxychloroquine dan klorokuin.
Baca juga: Kandidat obat corona, "hydroxychloroquine" diuji klinis pada manusia
Obat malaria ini diproduksi banyak perusahaan farmasi, termasuk Teva Pharmaceutical Industries Ltd dari Israel dan Bayer AG.
Obat ini obat lama tetapi sudah teruji memerangi wabah-wabah lainnya, namun mengandung efek samping untuk kondisi-kondisi kesehatan tertentu.
Masih ada favipiravir yang dibuat Zhejiang Hisun Pharmaceutical Co. Obat flu ini dijual dalam brand Avigan oleh FujiFilm Holdings Corp di Jepang. Avigan inilah yang pernah disebut-sebut turut membantu menekan kematian di Wuhan, China. Favipiravir juga membidik RNA virus guna menghentikan penyebaran virus.
Obal lainnya adalah convalescent plasma (TAK-888) yang diproduksi Takeda Pharmaceutical Co. Obat ini mengeksplorasi plasma darah dari pasien COVID-19 yang sembuh yang bisa mengandung antibodi untuk melawan infeksi yang bisa digunakan dalam melawan penyakit tersebut. Hasilnya relatif menjanjikan dalam mengobati infeksi-infeksi serius lainnya.
Terakhir, antibodi mononklonal COVID-19 yang di antaranya diproduksi oleh AstraZeneca Plc.
Antibodi yang ditemukan oleh para produsen obat ini bisa menirukan respons sistem kekebalan terhadap virus corona, contohnya dengan menghalangi apa yang disebut dengan protein "lonjakan" yang digunakan virus corona sebagai gerbang untuk menginfeksi sel tubuh manusia.
Masih banyak formula atau obat yang kerap disebut membantu sistem medis di beberapa negara dalam menekan angka kematian akibat COVID-19, termasuk pengobatan herbal yang luas digunakan China, bahkan Madagaskar di Afrika timur mengaku memiliki obat herbal yang ampuh melawan virus corona.
Kabar dari inovasi-inovasi medis ini paling tidak turut membesarkan hati umat manusia bahwa kita bukan lagi makhluk yang tak berdaya menghadapi virus jahat ini.
Lebih menyenangkan lagi profesional-profesional kesehatan di Indonesia juga turut aktif dalam upaya agresif mencari formula medis anti-COVID-19.
Entitas seperti Bio Farma, Lembaga Biologi Moluker Eijkman, dan kampus-kampus berorientasi riset harus didorong oleh pendanaan masif dari negara agar lebih proaktif lagi dalam proyek dan riset medis.
Prioritas itu sudah menjadi keniscayaan karena bakal menjadi garda dan gerbang sangat penting dalam bagaimana masyarakat dan negara bereaksi terhadap fenomena-fenomena kesehatan di masa kini dan nanti ketika alam terus berubah untuk memaksa semuanya berubah, termasuk patogen-patogen yang semakin jahat saja.
Baca juga: EMA ingatkan efek samping obat malaria untuk pasien COVID-19
Baca juga: Novartis, regulator AS sepakat uji coba obat malaria untuk COVID-19
Baca juga: Indonesia sudah memproduksi obat COVID-19? Cek faktanya
Copyright © ANTARA 2020